Lost Eve

Raungan Megapro terdengar menggebu-gebu dari suatu sudut jalanan kota. Terdengar pula kikisan pasangan rodanya yang melesat kilat di atas aspal. Langit sore itu merah jingga. Perlahan matahari turun dari peraduan. Gagak-gagak hitam berkoak-koakan. Ada yang terbang, ada pula yang bertengger pada untaian kabel-kabel tiang listrik. Adakala Megapro melintas, gagak-gagak terbang berhamburan. Sang gadis pengemudi tak pandang sekitar. Rambut coklatnya yang panjang berkibar-kibar di terpa angin senja. Dari balik pelindung kepalanya, ia mendongak ke arah barat. Matahari di antara langit senja. Cahayanya yang makin redup memantul ke bola matanya yang bening. Semakin gelap, hatinya bertambah kesal. Tak tahu arah, tak punya tujuan. Tak akan ada yang menggubrisnya, takkan ada yang peduli meski pekik menggema. Begitu ingat rumah, hatinya semakin benci. Tatkala rumah bukanlah seperti rumah baginya.
“Aku tidak tahu bagaimana kau membesarkan anak pembawa sial itu!”
Suara menggelegar bak petir itulah yang selalu menyambut kepulangan gadis berambut coklat itu. Kata-kata kasar di umbar serta dengan teriakan menyalak. Adu mulut suami istri itu terus berlangsung setiap hari nyaris tanpa absen.
“Hentikan bicaramu yang seperti semua salahku! Kau tak tahu bagaimana susahnya aku mengurus anak bebal itu!”, perempuan yang tampak masih muda raut wajahnya membalas dengan teriakan yang tak kalah hebohnya.
Gadis itu mengatur nafasnya. Meninggalkan bayangan memanjang dari Megapro nya akibat cahaya matahari yang kian meredup dan membawa diri ke depan pintu utama. Dari balik pintu itu masih jelas terdengar mooh, cercaan dan teriakan yang menghujam kelima inderanya. Namun ia memutuskan untuk meraih gagang pintu.
PLAK!
“Kau tahu sekarang jam berapa? Sekolah mana yang pulangnya sesore ini!”, pria paruh baya itu bersuara menyalak setelah mendaratkan kelima jemarinya di wajah gadis itu dengan telak. Mukanya tampak garang. Urat di kerongkongannya timbul menegang.
“Lihat anak ini! Lihat tingkah lakunya! Begini caramu mengurusnya?”, pria itu kembali menyembur perempuan muda itu, “Lihat wajahnya babak belur! Pasti habis berkelahi lagi!”
Perempuan muda itu menatapi putrinya dari atas sampai ke bawah. Wajahnya yang penuh balutan plester dan kain kasa terhalangi oleh rambut coklatnya yang panjang. Tidak tahu dan tidak peduli bagaimana ekspresi gadis itu. Perempuan muda itu melihat putrinya yang hanya diam. Matanya melukiskan kebencian.
“Kenapa Rin? Kenapa kau menyusahkan kami terus-menerus seperti ini?”
Tinju gadis itu melayang menghentakkan pintu di belakangnya. Kepalanya mendongak ke arah dua orang di hadapannya serta merta menatap mereka dengan pandangan kematian. Kedua orang itu tersentak kaget. Gadis itu menggeram dan tinjunya bergetar hebat. Usahanya untuk menahan luapan amarah kandas sudah. Pergulatan batinnya telah sirna. Kebencian lah yang memenangkan segalanya. Perasaan dan ikatan yang telah mati di antara gadis itu dan kedua orang yang seharusnya orang tua baginya, membawanya pada kehancuran pribadi. Begitu kebencian mengombang-ambing, menggelapkan rasa, hanya amuk meredam segala.
“Kau dan juga kau! Benar-benar cerewet! Memangnya siapa suruh punya anak sial seperti ini! Memangnya siapa yang minta di lahirkan!”
Pria paruh baya itu mukanya merah padam. Begitu pula dengan matanya. Darahnya semakin mendidih setelah mendengar umpatan gadis itu.
“Keluar kau dari sini! Kau bukan anggota keluarga ini lagi!”, pekiknya.
“Tanpa kau suruh pun, aku akan pergi dari rumah ini!”
Jeritan gadis itu diakhiri dengan hempasan pintu yang begitu nyaring. Dengan segera tancap gas bak taufan bersama Megapro nya. Kembali mengelilingi jalanan kota yang kini di remangi lampu-lampu kuning sepanjang jalan raya. Langit membiru gelap dan semakin lama semakin kelam. Tak satu pun kerlipan bintang menghiasi bentangan atap bumi. Purnama pun hanya bersembunyi di balik gumpalan awan pekat yang menghalangi sinarnya. Kebimbangan yang memenuhi rongga dada. Tanpa tahu apakah ada persimpangan yang sedia menerimanya. Gadis itu terus melaju tanpa henti. Angin menyambut keras, langit bergemuruh, dan akhirnya menangis. Raungan Megapro tak terdengar lagi. Suaranya hilang di depan wartel. Dengan kondisi basah kuyup, gadis itu memencet tombol dan berbicara dengan seseorang di seberang telepon sana. Agak kiranya sepuluh menit, sesosok pemuda berkacamata menghampiri gadis itu sembari menyerahkan payung di tangan kirinya. Setelah itu mereka beranjak menuju sebuah cafe di seberang wartel. Di sana, pemuda itu menyerahkan handuk dan pakaian baru kepada gadis itu. Setelah berganti di toilet, pemuda itu memesan sebuah kopi susu hangat kepada pramusaji. Ia duduk berhadapan dengan gadis itu.
“Kabur lagi?”, tanya pemuda itu.
Gadis itu hanya membisu. Matanya memandang kopi susu hangat di dekapan tangannya dengan tatapan kosong. Di atas permukaan minuman itu, tergambar lah raut wajahnya yang bermakna sendu.
“Rin?”, panggilnya.
“Aku...”, gadis itu membuka mulut perlahan, “kenapa hanya aku yang tidak merasakan ketenangan, kenapa aku...”, suaranya makin terdengar sayup-sayup di antara berisiknya gemericik air di balik jendela cafe.
Pemuda itu hanya tersenyum. “Hari ini lagi-lagi hukuman panggil orang tua karena berkelahi? Orang tua mu berseteru lagi? Di kejar-kejar polisi karena melanggar peraturan lagi?”
“Ya, lagi,” jawab gadis itu , “semuanya lagi, lagi dan lagi... dan terus menerus seperti itu. Baik rumah, sekolah maupun jalanan tak ada bedanya. Sama-sama penjara. Penjara yang senantiasa membelengguku. Dimana lagi tempat yang menyambutku dengan kebebasan sejati. Aku... aku benar-benar tidak tenang.”
Pemuda itu diam mendengarkan luapan kejenuhan gadis itu. Pandangan matanya pun melukiskan kejenuhan yang sama. Suatu ide terlintas di benaknya dan itu menyebabkan ia tersenyum ringkih. Di gapainya kedua belah telapak tangan yang dingin itu. Seketika matanya berubah pandangan sejuk. Gadis itu sempat tertegun. Raut wajahnya tak lagi memancarkan kesenduan. Pemuda itu segenap berdiri dan menyelipkan tubuh di sofa di sebelah gadis itu. Kemudian menariknya dalam rangkulannya. Membenamkan wajah gadis itu di atas dadanya yang bidang. Mengelus rambut panjangnya yang basah. Sesaat keduanya tak lagi merasakan dinginnya udara di luar sana. Gadis itu turut saja. Tak menghiraukan pandangan-pandangan sinis yang terlayang pada keduanya. Gadis yang mendamba kehangatan, sesaat tak lagi merasa sepi. Ia tak ingin waktu yang sesaat itu hanya sekali waktu itu saja. Tak mau kehangatan itu pergi begitu saja.
“Pak guru,” panggilnya.
“Kalau sedih, kesal, kenapa tidak menangis saja? Keputusanmu untuk melampiaskannya kepada dunia bukanlah sesuatu yang dapat pembenaran begitu saja. Aku bukannya mau menyalahkanmu. Tapi di atas segalanya, itu bukan atas kehendakmu. Karena sejatinya perasaan manusia itu rumit. Sulit menerka apakah seseorang itu berniat baik atau malah sebaliknya. Karena itu aku tidak habis pikir kenapa kau melampiaskan semuanya dengan mengamuk tidak karuan. Apakah kau tidak sampai terpikir apa yang kau dapatkan setelah itu. Kepuasan macam apa lagi yang akan kau raih dari semua itu?”
Tak ada bunyi yang di sampaikan gadis itu. Ia meremas kemeja pemuda itu.
“Itu bukanlah hal yang sesederhana itu untuk di tangisi...”
“Aku tahu.”
“Kalau aku melakukan itu, sama saja dengan mengakui kekalahanku! Menunjukkan pada semua orang betapa lemahnya diriku! Meyakinkan pendapat semua pecundang itu bahwa alangkah rendahnya aku! Betapa hinanya aku! Betapa tidak berharganya diri ini! Aku tidak tahu kenapa aku jadi begini, kenapa aku harus jadi seperti ini? Kenapa aku begitu menolak dunia? Dan akibat dari semua itu, kenapa aku harus terpuruk sedemikian rupa? Kenapa... kenapa aku merasakan sepi? Sepi... sepi sekali...”
Tetes air bening itu jatuh satu-satu. Membasahi kemeja pemuda itu. Di luar sana langit masih menangis. Derasnya tangisan langit menyuarakan kepedihan gadis belia. Dan kini, nun jauh di suatu tempat, gadis itu terduduk seorang diri. Bersimpuh menahan sakit pada selangkangannya. Rambutnya berantakan. Dini hari itu udara terasa amat menusuk. Sepoi-sepoi angin menyapa tubuh gadis itu. Memaksanya untuk mendekapkan tubuhnya pada kedua pahanya. Kedua tangannya gemetar. Gigi-giginya menggeratak. Sehelai sutra putih, satu-satunya yang melekati tubuhnya, tak mampu menghalangi lambaian angin dingin nan menusuk. Ditatapnya hamparan luas danau yang berkilauan membiaskan cahaya purnama yang tak lagi hilang timbul dari balik gumpalan awan pekat. Pemandangan itu sungguh menyayat hati. Ia masih ingat saat-saat dimana kehangatan berada dekat dengannya beberapa jam yang lalu. Ia masih ingat kala tangan yang besar itu membelai lembut rambut coklatnya yang panjang. Dan ia masih ingat tatapan sejuk dan senyuman hangat yang menentramkan hati itu. Masih terbesit di benaknya manakala ia di naikkan ke mobil, di bawa ke sebuah rumah. Disana, di tempat yang nyaman itu, sosok itu menawarkan kebebasan, kebebasan sejati. Gadis itu menyambut dengan suka cita. Pada hamparan dunia yang begitu luas, yang begitu ramai oleh jejak-jejak langkah manusia, walaupun mungkin cuma satu, pasti ada manusia yang masih memikirkan sesamanya. Walaupun mungkin cuma satu, pasti masih ada. Dalam waktu yang hanya hitungan jam, gadis itu tak lagi merasa sepi yang menghantui sanubarinya. Dalam waktu yang sekejab itulah saat-saat terakhir ia melihat manusia. Ketika seteguk dua teguk air teh ia tenggak, secangkir teh hangat yang di sajikan oleh orang itu dengan penuh kasih sayang. Setelah itu gadis itu tidak ingat apa-apa.
Kini duduklah ia seorang diri, di atas sampan kecil, di tengah luasnya danau. Ia meringis menahan perih pada selangkangannya, kepalanya denyut-denyutan, tubuhnya menggigil. Di sana tak ia temukan siapa-siapa. Sunyi sepi. Matanya menerawang jauh ke langit. Purnama tampak sangat cantik. Ia mengangkat tangan kanannya yang di tudingkan ke arah cakrawala. Berusaha seolah-olah ingin menggapai tempat sang purnama berada. Kemudian tangisnya pecah.
“Pak guru... pak guru...”
Gadis itu membenamkan kepalanya dalam pelukan tubuh dan pahanya. Sepi luar biasa kini meluluh lantakkannya. Tubuhnya lambat laun melemas. Ia menekan kuat-kuat mulutnya. Menahan rasa mual dan denyut hebat di kepalanya yang kian menajam tubuhnya. Angin malam teramat tak bersahabat. Ingin berteriak, namun hanya sunyi menyahut. Batinnya makin tersayat-sayat.
“Ini dimana... jangan tinggalkan aku...”
Matanya mengelilingi ke sudut-sudut sampan. Tak di temukannya dayung. Hanya beberapa paku baja nan besar-besar dan sebuah palu. Tubuhnya sedikit merunduk dan tangannya berusaha menyentuh air, lalu buru-buru di tariknya. Ia menguap-nguapkan nafas ke tangannya. Kemudian di raihnya paku-paku baja dan palunya. Gebukan palu di atas paku memecahkan kesunyian dini hari. Dengan segenap tenaga yang tersisa, gadis itu melubangi setiap sudut sampan. Setelah siap, air mulai merembes ke dalam sampan. Gadis itu kembali terduduk. Air danau tak berasa dingin lagi. Senyum pahit tersungging di bibirnya. Kau yang menabur, kau yang menuai. Atas apa yang telah di perbuat, pasti akan ada kompensasinya. Pertanggung-jawaban sudah tak ada gunanya lagi. Perlahan-lahan air telah melenyapkan sampan, kemudian sampai ke dada gadis itu, lalu danau telah menelan sosoknya.
Kembali hanya bisikan angin yang terdengar sayup-sayup dan purnama yang hilang di balik awan pekat. Suasana gelap gulita tiada pelita. Gagak hitam terbang melintas. Suara koakannya terdengar ganjil. Seperti tertawa.

Selesai

Map

Link