Langit malam itu gelap di liputi awan kelam. Suaranya bergemuruh. Gadis belia berdiri tegap di balik jendela ruangan. Matanya menerawang jauh ke angkasa di balik jendelanya. Pada bola matanya yang hitam, tak terpantul bintang-bintang di sana, tiada cahaya rembulan. Langit hitam pekat. Suasana di ruangan begitu senyap. Hanya terdengar sayup-sayup gadis mendesah pelan. Begitu pelan sampai hampir tak terdengar. Jendela ruangan bergeretak. Sahutan angin keras menerjang menerpa bumi metropolitan. Pertanda langit tak mampu membendungi kepedihan sang gadis. Rintik-rintik, kemudian semakin banyak. Dari balik jendela pun, suara gemericik di luar sana amat berisik. Gadis berpiyama kelabu masih berdiri tegap. Desahan tak lagi terdengar. Di kalahkan oleh tangisan langit. Dari pelupuk mata, mengalir tetes bening bak kristal. Begitu tajam dan senantiasa melukai. Tetes demi tetes. Namun tak terdengar isakan. Mulut yang terkatup rapat. Langit pun tak mau kalah. Mewakili suara hati sang gadis yang entah sampai kapan takkan pernah tersampaikan. Menyembunyikan semuanya sendiri. Tidak tahu dan tidak mau tahu entah sampai mana, sampai kapan, bahkan sampai harus bagaimana.
Di seberang jendela ruangan, jauh di bawah sana, tepatnya di halaman, pandangan gadis beralih pada tempat itu. Mobil Porsche 356A hitam terparkir begitu saja. Baru beberapa minggu yang lalu mobil itu menjadi bagian dari rumah besar itu. Namun pria pengendaranya tak lagi membawa lajunya ke jalanan luas. Bahkan, mobil itu tak lagi mendapat perhatian pemilik rumah. Berminggu-minggu terlantar. Sang gadis menatapnya dengan pandangan kosong. Masih jelas di benaknya, kala ayahanda keluar dari dalam mobil, menyambut dirinya sembari mengumbar senyum hangat menentramkan hati. Gadis yang masih cilik bergaun renda pendek nan indah, berlari-lari kecil ke dalam pelukan ayahanda tercinta. Tawa bahagia terdengar dari keduanya. Namun, kabut putih menghapus melenyapkan sosok berbahagia itu. Gadis belia kembali pada kesadarannya. Di angkatnya kedua tangan dan di tatapi nya dalam-dalam telapak tangan yang pucat itu. Masa beberapa minggu lalu mengombang-ambingkan perasaannya. Meluluh-lantakkan jiwa raga. Tak mampu menghapus, tak sanggup menyesali tangan yang kini telah ternodai. Tangan yang merenggut nyawa. Ia diam tak berdaya.
Terdengar derap langkah dari anak tangga di lantai bawah. Sesosok pria paruh baya menghampiri sebuah pintu di antara sekian banyak pintu di koridor lantai dua. Di raihnya gagang pintu, kemudian di tariknya. Sosok punggung dengan rambut hitam panjang nan indah tergerai, yang menyambut kedatangan pria itu. Sosok itu diam tak terusik dengan kedatangan seseorang di belakangnya. Ia masih termangu di dekat jendelanya. Masih asyik terbuai di dalam ingatannya yang kemudian berlalu bak kilatan cahaya.
“Rin?”, panggil pria paruh baya itu.
Gadis itu tak menyahut, tak pula menoleh. Hati dan pikirannya masih di kuasai oleh kenangan-kenangan manis nan pahit. Di usapnya embun di kaca jendela dan di ukirnya sebuah ungkapan. Time of life. Dari ungkapan itu, ia hanya bisa berharap kecil. Bahwa semua kenangan di hari-hari itu, tak peduli meskipun itu manis maupun pahit, bahwa itu semua adalah miliknya. Bahwa itu adalah nyata, benar adanya, dan hanya miliknya seorang. Dengan pipi yang basah kedua-duanya, ia membalikkan badan, menatap pria paruh baya itu. Sorot matanya dingin. Pria itu pun membalas dengan tatapan iba. Di pandanginya sorot mata dingin itu. Bola matanya yang bening, mungil dan indah, tapi menyiratkan kepedihan mendalam. Bola mata itu tak bersalah, meski telah di kotori pemandangan penuh aniaya. Bola mata yang lelah karena rapuhnya si pemilik. Pria itu makin iba hatinya.
“Kau baik-baik saja?”, tanya pria itu dengan lembut.
Senyum sinis tersungging di bibir gadis itu. Matanya berubah angkuh, “tidak apa-apa. Ini bukan apa-apa, kau jangan salah paham,” jawab gadis itu sambil masih tetap kekeh di tempatnya berdiri. Tak sedikit pun ada hasrat ingin menghampiri pria itu.
Pria itu memilih untuk menduduki tepi ranjang milik gadis itu sambil menghela nafas panjang.
“Kalau begitu, apa yang membuatmu kepikiran? Apa yang membuatmu sampai menangis?”, tanya pria itu lagi sambil melipat tangannya di depan dadanya, “kalau aku boleh tahu.”
“Kau bukan siapa-siapa...” jawabnya ketus.
“Aku tahu,” potong pria itu.
“Bukan apa-apa...”
“Aku tahu itu,” balas pria itu lagi.
“Kau tak berhak apapun atas diriku...”
“Memangnya kenapa dengan itu?”, tanyanya.
“Apa maumu?”, gadis itu balik bertanya.
“Aku berniat baik. Aku berharap bisa berbuat yang terbaik untukmu,” jawab pria itu dengan sabar.
“Enyah kau!”
“Aku tahu itu memang salah...”
“Berhentilah menggangguku!”
“Tapi kau harus percaya bahwa itu adalah jalan terbaik bagi kita,” balas pria itu tidak mau kalah.
“Persetan denganmu!”, umpat gadis itu.
“Dengarkan aku...”
“Enyahlah brengsek!”
“Rin...”
“Kalau itu memang yang terbaik, setelah aku melakukan apa yang kau hasutkan padaku, kenapa setelah itu kau meninggalkanku?”
“Aku tak pernah...”
“Mati saja kau!”, potong gadis itu bertubi-tubi.
“Maafkan aku...”
“Kini aku melanglang-buana, terus dan terus mencari tempat persembunyian. Kali pertama ini aku berhasil kembali ke rumah ini dengan susah payah. Dan kau, seenaknya menempati tempat ini dan semua harta yang ada di sini! Di luar sana aku kedinginan, kelaparan, menanggung derita dan aib, berkomplot dengan gelandangan untuk bertahan hidup dan kau sedetikpun tak pernah mencariku! Kau pikir aku tidak kepikiran akan status buronku ini, hah?!”
Pria itu bangkit segera dari ranjang dan berjalan mendekati gadis itu.
“Menjauh kau!”, teriak gadis itu.
Langkah kaki pria itu pun terhenti. Terbentang jarak semeter dari keduanya.
“Sedetikpun aku tidak pernah tidak memikirkanmu. Kau tahu aku bukan orang yang seperti itu.”
“Diam kau!”
“Kau tahu siapa aku.”
“Aku tak mengenalmu! Sebenarnya kau ini siapa?”
“Tenangkan dirimu, Rin...”
“Kenapa aku mau saja menuruti perkataanmu itu...” gadis itu menjambak rambutnya dengan kedua tangannya hingga duduk tersungkur. Kemudian meremas kain gorden di sampingnya. Mulutnya terdengar komat-kamit frustasi. Sangat tidak karuan. Ia mendekap tubuhnya sendiri dan menenggelamkan kepalanya di antara tubuh dan pahanya yang merapat. Sayup-sayup terdengar isakan darinya. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Adalah kebebasan, keadilan dan cinta kasih yang menjadi alasan atas tindakannya. Angan-angan belaka ingin hidup bebas dengan orang terkasih. Ia kini tak lebih dari sampah masyarakat. Dan yang paling mengguncang batinnya ialah kenyataan bahwa semua itu benar-benar nyata.
Pria itu mendekati gadis itu sembari berlutut. Ia mencondongkan badannya, tangannya meraih wajah gadis itu kemudian menengadahkannya. Namun buru-buru gadis itu menepis kasar kedua tangan pria itu. Sorot matanya melukiskan kebencian yang amat sangat.
“Jangan sentuh aku!”
“Rin, kumohon...” wajah pria itu memelas.
“Keluar kau dari rumahku!”
“Apa maksud...”
“Semenjak hari itu, hidupku sebagai buron membuatku menjadikan seluruh dunia ini bagai neraka! Kau tak pernah tahu betapa terpuruknya aku, menderitanya aku! Aku mati ketakutan di luar sana dan kau tidak peduli...”
“Aku peduli padamu...”
“Keluar kau, brengsek!”
Pria itu tersenyum sabar. Ia menghela nafas sambil mengantongi tangannya pada kantong celananya. Kemudian seketika ia bangkit berdiri. Menarik paksa gadis itu ke dalam dekapannya. Erat-erat sembari mengacak-acak rambut hitam panjang nan indah itu. Gadis itu mengepalkan jemarinya, berusaha mendorong dada pria itu sekuat-kuatnya. Sia-sia. Ternyata pria itu lebih kuat dari dugaannya.
“Dengan mengusirku, kau akan sendirian.”
“Mati seorang diripun bukan masalah bagiku.”
“Aku tahu kau tidak akan seperti itu...”
“Aku tak butuh siapapun!”
“Karena kau tahu takkan ada yang bersedia menerima dirimu.”
“Hentikan!”, gadis itu berhasil mendorong pria itu, melepaskan diri dari dekapannya.
“Dan kau tahu hanya akulah satu-satunya orang yang bersedia mendampingimu.”
“Diam!”, teriak gadis itu menutupi kedua telinganya.
“Karena tak ada tempat untukmu di luar sana. Kau berpikir takkan ada tempat untuk seorang pembunuh. Makanya kau kembali kesini untuk satu-satunya orang yang bersedia menerimamu.”
Gadis itu tak terdengar sahutannya. Tak mampu membalas. Amarahnya meredam.
“Pikirkanlah dengan tenang, “ sambung pria itu.
Gadis itu masih membisu. Pandangannya di buang ke sudut ruangan. Hatinya mulai bimbang.
“Tak ada seorangpun yang berhak menentukan hal itu, termasuk kau,” gerutu gadis itu.
“Kenapa tidak?”
“Karena kau gila!”
Pria itu membalas dengan cekikikan, kemudian tawanya lepas. Tawanya terdengar menggelegar. “Apa kau telah memutuskan untuk terus seperti itu seumur hidupmu? Kita lihat saja sampai kapan kau akan bertahan. Aku yakin kau akan hancur karena hal itu. Karena itu, cobalah berpikir jernih.”
“Aku tak peduli dengan itu.”
“Kau tahu apa yang kupikirkan? Entah dalam berapa puluh tahun lagi akan ku temui gadis sebodoh kau!”
Pria itu kembali melangkah mendekati gadis itu. Di gapainya kedua belah tangan yang lemah itu dan menggenggamnya dengan kasar. Matanya menyiratkan kehausan akan gairah. Gadis itu hanya bisa menunduk. Menghindari tatapan itu. Ia tak berharap termakan oleh ajakan tatapan itu. Sembari mendorong gadis itu sampai menabrak kaca jendela ruangan yang besar dan lebar, tangannya menyibakkan rambut panjang hitam nan indah si gadis--yang menghalangi pandangannya--ke balik daun telinganya. Kemudian di dekatkannya bibirnya ke telinga gadis itu sambil membisikkan sesuatu. Sang gadis tak kuasa berontak.
“Biar kujelaskan lagi agar tembus telingamu dan tak berulang-ulang ku ucapkan. Ayahmu takkan pernah kecewa atas apa yang telah kau lakukan padanya. Kau telah melakukan satu hal terbaik untuknya. Yaitu menyadarkannya akan kekuatan cinta kita yang berada di atas segalanya. Bahkan tak sebanding dengan harta serta kekuasaannya. Cinta menundukkan segalanya. Termasuk dirimu. Aku bahagia kau melakukan itu demi aku.”
“Kau orang paling rendah yang pernah ku kenal...” geram gadis itu lewat giginya yang di rapatkan.
“Masih lebih baik daripada membunuh ayah sendiri.”
“Kau permainkan anak di bawah umur, dasar brengsek!”
“Aku sudah menawarkan banyak pilihan praktis, tapi kau tak memberiku pilihan...” tangan pria itu menjelajah ke tubuh gadis itu.
Pria itu tergeletak di lantai sesaat setelah gadis itu memeluk pria itu. Si gadis berdiri bersandar pada jendela ruangan. Di seberang dunia luar, tangisan langit belum mereda. Ia memejamkan pandangan sekitar. Nafasnya terdengar tak beraturan. Bola matanya mengitari ke setiap sudut ruangan untuk terakhir kalinya. Mengingat-ingat setiap detilnya. Sebelum melepaskan sarung tangan transparan, ia berkemas dan bergegas melarikan Porsche 356A hitam. Si pria tertinggal seorang diri. Merah mulai membanjiri lantai ruangan itu sekaligus untuk kedua kalinya menodai tangan gadis itu. Punggung si pria meninggalkan ukiran lubang berbentuk hati oleh sebilah pisau dapur tertancap di tengahnya.
“Aku mencintaimu...”
Sang gadis tersenyum sinis kemudian tertawa puas terbahak-bahak sambil mengemudi.
Selesai
by Shironeko
LEAVE A COMMENT