In The Hospital

Adi kaget ketika membuka matanya. 
Di dapatinya tubuh yang terbaring lemah tak berdaya. 
Sayup-sayup bunyi tetes impus yang tertangkap oleh telinganya. 
Samar-samar di perhatikannya langit-langit. 
Suasana gelap. 
Namun cahaya rembulan yang menembus jendela dan ventilasi mampu menerangi ruangan yang gelap gulita.
Ia membuang pandangannya ke kiri dan di dapatinya sesosok laki-laki yang tampak familiar duduk di sampingnya. 
Kepalanya menunduk, matanya terpejam dengan kedua tangan yang di lipat di depan dadanya.
Adi menyipitkan mata untuk memastikan kebenaran akan sosok itu. 
Kemudian, bola matanya mengitari ke setiap sudut ruangan. 
Tempat yang berbeda dengan kamarnya. 
Hatinya mulai penuh tanda tanya. 
Ia memutuskan untuk bangkit, namun rasa nyeri di kepalanya memperingatinya untuk kembali berbaring. 
Ia meringis sambil memegangi kepalanya dan tersentak lebih kaget lagi saat merasakan kain kasa di balut dengan rapi di kepalanya. 
Kekagetannya di tambah lagi dengan tali impus menempati pergelangan tangan kirinya. 
Ia mencoba mengingat-ingat. 
Apa yang sebelumnya telah terjadi padanya dan apa yang membawanya ke tempat itu. 
Namun, belum sempat melakukannya, sosok laki-laki di sampingnya tersadar dari mimpinya.

“Sudah siuman, Di?”, tanya laki-laki itu sambil menguap.

“Angga, kaukah itu?”, Adi balik bertanya dengan suaranya yang terdengar parau.

Angga menghembuskan nafas panjang, kemudian menarik ulur tangannya jauh ke atas untuk melakukan peregangan setelah hampir dua jam tidur sambil duduk. Ia kembali menguap.

“Kenapa kau dan aku bisa ada di sini?”, tanya Adi lagi.

Angga membalas pertanyaan Adi dengan tersenyum, “seharusnya itu pertanyaan milikku.”

Adi mengerutkan keningnya.

“Aku tidak tahu tentang itu,” Angga menanggapi sorot mata Adi yang menyiratkan tanda tanya, “begitu ada panggilan masuk ke kantorku, aku bergegas kemari.”

“Apa terjadi sesuatu padaku?”

“Itu yang ingin kutanyakan padamu,” sergah Angga.

Adi makin kebingungan di buatnya, “mm...bagaimana dengan pekerjaanmu? Kau meninggalkannya begitu saja?”, tanya Adi mengalihkan.

Angga mengernyitkan dahi sembari bergumam, “ng...bagaimana ya...? Menurutmu bagaimana?”

“Bagaimana apanya? Bukankah kau bilang pekerjaanmu lebih penting? Dan kau telah membuang waktumu hanya untuk mengawasiku seperti ini? Apa aku salah?”, jawab Adi dengan semrautan.

Angga bisu sesaat. Ia menatapi laki-laki yang sedang terbaring lemah di hadapannya dalam-dalam. 
Ia dapat merasakan kesepian mendalam yang terpancar darinya. Ia pun kembali tersenyum.

“Tidak,” balas Angga dengan lembut, “kau memang tidak sepenuhnya salah, tapi satu hal yang ku ingin kau tahu...”

Keduanya saling beradu pandang.

“Apa?”, tanya Adi.

“...pekerjaanku tak lebih penting daripada dirimu. Kau percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya,” sambung Angga.

Adi tak merespon, ia diam seribu bahasa.

“Aku tidak tahu yang menyebabkan kau seperti ini sekarang adalah kesalahanku atau hal lainnya...” lanjut Angga sambil kembali melipat tangannya di depan dada, “...kecemasanku ini nyaris membuatku mati gila. Aku sebenarnya hanyalah seseorang yang pengecut. Sesumbar ingin melindungi kau dan Nena, tapi pada akhirnya aku tidak bisa apa-apa terhadap Nena. Kali inipun sejujurnya aku ketakutan. Takut kehilangan. Setelah Nena, sempat terlintas di benakku, bagaimana jika seandainya kau di renggut dari sisiku...”

Adi masih tak memberi tanggapan. 
Matanya memandang lurus ke depan.
Pandangannya menerawang ke tembok putih ruangan. 
Ia tak menoleh ke Angga. 
Namun yang bersangkutan malah sebaliknya.

Angga tersenyum pahit, “aku hanya ingin bilang bahwa aku peduli padamu, dan aku ingin...”

“Minta maaf,” potong Adi, “maafkan aku, Ngga. Seharusnya ucapan itu milikku.”

Angga tercengang mendengar penuturan Adi barusan. Namun ia membalasnya dengan tersenyum lembut untuk ke sekian kalinya.

“Ya, kau ini boleh juga,” katanya.

“Akhir-akhir ini aku terus kepikiran Nena. Ia tak kadang hadir dalam mimpi, tapi kadang bayangnya samar-samar di alam sadarku. Mungkin kedengarannya memang tidak logis.”

“Hm...” Angga menggumam sambil mengangguk-angguk kecil.

Alis Adi berkerut. Ia tak menangkap maksud dari bunyi ‘hm’ itu, “ada yang salah?”, tanyanya.

Kali ini Angga malah menggeleng-gelengkan kepalanya, “tidak, kurasa itu tidak aneh.”

“Delapan tahun telah berlalu lamanya, tapi sampai kini bayang-bayangnya pun masih terasa dekat, malah semakin dekat. Kadang aku merasa ia akan muncul entah dari mana, mengagetkanku, kemudian tertawa penuh kepuasan...”

Angga tersenyum mendengar cerita Adi.

“Maaf, ceritanya jadi tidak enak begini, soalnya Nena itu meninggalkan kesan yang kuat sekali padaku.”

“Tidak apa-apa,” balas Angga, “kurasa memang benar bahwa cerita mengenai Nena tidak akan pernah ada habisnya.”

“Itu kan menurutmu.”

“Tidak, tidak, kurasa hal yang sama pun juga ada padamu.”

“Hah?”

“Hoh!”, balas Angga cekikikan.

“Kau pikir itu lucu?”, sewot Adi.

Adi kembali menunduk, sementara Angga masih cekikikan. 
Matanya tertuju pada dunia luar di balik jendela ruangan. 
Bola matanya menangkap sesosok bayangan yang membawa lentera, lewat dalam sekejab mata dan itu sekaligus membuat matanya terbelalak. 
Cahaya itu begitu indah, bahkan menandingi keindahan cahaya rembulan di ufuk barat.
Namun hanya terlihat sekilas. 
Terasa singkat. Mulut Adi tak melontarkan apa-apa untuk mengungkapkannya. 
Hatinya di liputi suka cita.

“Jam berapa sekarang?”, tanya Adi mengalihkan.

“Dini hari,” jawab Angga yang telah reda dari cekikikannya, “tepatnya jam dua. Memang ada apa dengan itu?”

“Ada apa dengan diriku?”

“Hah? Kenapa kau tanya aku? Aku bilang pertanyaan itu milikku.”

Adi kembali diam tak membalas. Dahinya berkerut. 
Tidak tahu apa ada yang salah dengan penglihatannya.
Yang pasti, pemandangan yang sekelebat barusan begitu hangat menentramkan hati. 
Adi meyakinkan bahwa dirinya masih dalam keadaan tersadar. 
Segenap ia memejamkan mata. 
Mulutnya mendesah perlahan. Ia mencoba menggali ingatannya beberapa jam yang lalu.
Masih terlintas, saat itu ia melaju kencang bak kilatan cahaya bersama Tiger nya di jalanan luas.
Ia hendak berpulang.
Melewati tempat asing yang tak pernah di singgahinya. 
Gelap gulita. 
Hanya sorotan cahaya Tiger yang menerangi jalan. 
Dan raungan Tiger yang memecahkan kesunyian malam. 
Mata Adi memejam keras, berusaha berpikir keras. 
Apa yang hendak di carinya. 
Apa yang terjadi setelah itu. Entah mungkin di ujung jalan sana tampak setitik pelita yang sama seperti yang ia lihat beberapa detik yang lalu. 
Semakin mendekati. 
Sesosok bayangan bergaun indah dengan kerudung yang menutupi rambut pendeknya.
Wajahnya tertunduk berhiaskan poni yang tertata rapi.
Kedua tangannya lah yang menggenggam lentera.
Ialah sumber pelita itu. 
Semakin dekat arahnya semakin menyadarkan Adi dari keterpanaannya. 
Matanya membelalak.
Ia terlambat dengan remnya. 
Setelah itu ia tidak ingat apa-apa.
Hanya saat ia terbangun di sebuah ruangan dengan impus di samping ranjangnya, dan Angga yang telah berjaga untuknya. 
Mata Adi membuka perlahan.

“Hei, kali ini ada apa?”, tanya Angga, yang ternyata sejak tadi diam memperhatikan Adi yang sedang berada dalam lautan pikirannya tadi.

“Entahlah,” jawab Adi pusing.

“Apa itu jawabannya? Aku tak tahu apa-apa saja yang menimpamu seperti ini hanya karena kau enggan menjelaskannya padaku. Apa itu jawaban atas kecemasanku?”

Tangan lemah Adi memegangi kepalanya, “maaf, pikiranku agak kacau.”

“Aku sangat khawatir!”, Angga menegaskan.

“Aku tahu,” balas Adi.

“Andai ada yang bisa kulakukan untukmu...”

“Kau sudah banyak melakukan hal yang berarti untukku. Justru aku yang tidak bisa tidak terus-terusan menyusahkanmu...” potong Adi.

“...”

“...seperti sekarang. Terima kasih,” sambung Adi.

Angga tersenyum ringkih, “mungkin karena aku berbeda dengan Nena.”

“Tidak,” sanggah Adi, “apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”

Angga menggigit bibir, “yah, aku tak tahu apa yang membuatku berpikir demikian. Mungkin sama seperti yang kau rasakan. Nena begitu penting bagiku. Keberadaannya sangat berarti...”

Adi diam memperhatikan orang di sampingnya.

“...ia seseorang yang lembut, tidak seperti aku. Karenanya cintamu padanya begitu besar ketimbang aku,” sambung Angga.

Adi membuka mulut, “kau salah, Ngga.”

“...karena aku sering meninggalkanmu...”

“Itu tidak benar,” sanggah Adi lagi.

“Aku tidak lebih dari seorang ayah yang payah...”

“Bukan seperti itu!”, Adi setengah berteriak.

Kali ini Angga yang tak bersuara. Tubuhnya condong ke depan dengan kepala tertunduk. 
Kedua tangannya saling bergenggaman. Namun kemudian mengangkat kembali kepalanya.

“Percayalah,” kata Adi, “aku hanya ingin memutuskan untuk berhenti menyusahkanmu. Bukan berarti aku membanding-bandingkan mana yang lebih baik antara kau dan Nena. Dan bukan pula berarti bahwa aku tidak menyayangimu.”

Angga diam tercengang mendengar penuturan Adi tersebut.

“Kau mengatakannya dengan tegas.”

“Ada yang salah lagi?”, tanya Adi.

Angga tersenyum lembut, “tidak, aku senang mendengarnya, itu saja,” jawabnya sumringah.

“Kapan aku boleh meninggalkan tempat ini?”, Adi mengalihkan pembicaraan, “bagaimana dengan sekolahku?”

“Kau tak perlu cemaskan hal itu, yang penting beristirahatlah dulu dengan tenang. Yang justru kucemaskan adalah kepalamu.”

“Kenapa dengan kepalaku?”, tanya Adi.

“Katanya terbentur. Aku takut ada apa-apanya lagi.”

Adi tersenyum, “benarkah? Aku yakin aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

“Buktinya yang kau lihat sekarang.”

Angga mengangguk-angguk kecil, “baiklah, aku tinggal dulu,” tubuh Angga bangkit dari tempat duduknya dan kemudian berbalik.

“Kau akan meninggalkanku?”, sergah Adi cepat.

Langkah Angga terhenti. Ia memutar kepalanya, “apa itu kalimat tanya, anak manja?”

Adi terdiam dengan pipi memerah. Ia menarik selimutnya sampai ke dagunya. 
Tubuhnya berbalik membelakangi Angga. 
Sedangkan yang bersangkutan hanya senyam-senyum menyaksikan tingkah Adi.

“Anggap saja kau salah dengar...”

“Baik,” jawab Angga, “kau tidur saja.”

“Mm...” Adi mengiyakan sesaat sebelum Angga, sosoknya menghilang ke balik pintu ruangan.
Suasana kembali senyap. 

Mata Adi memejam perlahan.
Dalam gelap ruangan, bulir-bulir keringat mengalir tetes demi tetes membasahi tubuh Adi.
Matanya memejam kuat. 
Tubuh dan hatinya gelisah. 
Dalam alam setengah sadarnya, ia menyaksikan suatu pemandangan yang samar-samar. 
Yang ia lihat dalam pikirannya ialah sebuah mobil dalam keadaan terbalik. 
Nyala api terlihat dari tangki mobil yang hanya tinggal kepingan-kepingan. 
Adi sedikit berkerut alisnya dalam keadaan terpejam. 
Ia tercengang ketika menyadari bahwa ia mengenali mobil itu. 
Dari balik jendela mobil, samar-samar Adi melihat seseorang yang kepalanya penuh darah. 
Tiba-tiba ledakan dahsyat terjadi.
Adi tersentak kaget. 
Matanya terbuka dengan cepat dan bangkit segera dari pembaringannya.
Nafasnya tersengal-sengal. 
Tubuhnya basah oleh keringat.
Dari ujung matanya, mengalir tetes demi tetes air.

“Angga...” isaknya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Ia turun dari tempat pembaringannya sambil menarik lepas dengan paksa tali impus dari pergelangan tangan kirinya dan berlari keluar.

Ia berlarian di koridor yang remang-remang di sinari cahaya lampu kuning di sekitarnya. 
Tiada yang berjaga malam itu. Dalam derap larinya yang lunglai, pipi Adi basah.

“Jangan tinggalkan aku, Ngga...”

Adi merasa tubuhnya semakin berat. 
Kedua kakinya lemah, tak dapat menopang tubuhnya. 
Belum lagi rasa nyeri luar biasa di kepalanya. 
Keadaan itu memaksa tubuhnya jatuh tergeletak di lantai. 
Suara isakannya tak terdengar lagi. 
Matanya berubah pandangan kosong. 
Agak lima menit ia dalam keadaan seperti itu.

Tiba-tiba ia merasakan kehangatan di dalam hatinya. 
Dadanya terasa lapang. 
Di ujung persimpangan koridor, matanya menangkap sosok bergaun indah dengan kerudung yang menutupi rambutnya yang pendek.
Wajah tertunduknya tampak pucat. 
Masih menggenggam lentera pada tangannya. 
Senyum dingin terpancar darinya. 
Dalam keadaan setengah sadar, Adi bangkit perlahan. 
Tubuhnya tak berasa berat lagi. Kakinya melangkah mengikuti setitik pelita itu. 
Menyusuri sepanjang koridor. 
Pandangannya menerawang jauh mengikuti punggung sosok berkerudung itu. Mereka terus begitu hingga ke lantai teratas.

Sampai pada akhirnya di pintu di paling ujung koridor Adi berdiri. 
Di raihnya gagang pintu kemudian di tariknya.
Ruangan itu kosong. 
Tiada perabot macam-macam di dalamnya. 
Hanya terpaan angin dini hari dari jendela yang lebar yang terbuka lebar-lebar, yang menyambut Adi. Gordennya melambai-lambai di terpa angin dini hari itu.
Di seberang jendela sana, sosok itu berdiri menghadap Adi. 
 Kedua tangannya terulur ke depan seolah-olah mengajak Adi datang ke dalam pelukannya. Sosok itu tersenyum hangat ketika ia mengangkat wajahnya.

“Adi...Adi...” panggilnya dengan suara agak menggema, “kemarilah sayangku, aku telah mengajak ayahmu, kali ini kita bertiga akan bahagia, bersama selamanya...”

Pandangan mata Adi kosong. Bibirnya bergetar hanya untuk membuka mulut, “Nena...”

Adi terus melangkahkan kaki ke depan. 
Ia melangkahi jendela dan tubuhnya tergeletak tak sadarkan diri jauh di bawah sana setelahnya. Matanya membuka tak berkedip-kedip lagi. 
Darah mulai merembes dari belakang kepalanya. 

Hembusan angin bertiup-tiup menyuarakan kepergiannya.

Selesai

Map

Link