nyappy world

Nyappy World - Member Profiles


Revenge

Langit malam itu gelap di liputi awan kelam. Suaranya bergemuruh. Gadis belia berdiri tegap di balik jendela ruangan. Matanya menerawang jauh ke angkasa di balik jendelanya. Pada bola matanya yang hitam, tak terpantul bintang-bintang di sana, tiada cahaya rembulan. Langit hitam pekat. Suasana di ruangan begitu senyap. Hanya terdengar sayup-sayup gadis mendesah pelan. Begitu pelan sampai hampir tak terdengar. Jendela ruangan bergeretak. Sahutan angin keras menerjang menerpa bumi metropolitan. Pertanda langit tak mampu membendungi kepedihan sang gadis. Rintik-rintik, kemudian semakin banyak. Dari balik jendela pun, suara gemericik di luar sana amat berisik. Gadis berpiyama kelabu masih berdiri tegap. Desahan tak lagi terdengar. Di kalahkan oleh tangisan langit. Dari pelupuk mata, mengalir tetes bening bak kristal. Begitu tajam dan senantiasa melukai. Tetes demi tetes. Namun tak terdengar isakan. Mulut yang terkatup rapat. Langit pun tak mau kalah. Mewakili suara hati sang gadis yang entah sampai kapan takkan pernah tersampaikan. Menyembunyikan semuanya sendiri. Tidak tahu dan tidak mau tahu entah sampai mana, sampai kapan, bahkan sampai harus bagaimana.

Di seberang jendela ruangan, jauh di bawah sana, tepatnya di halaman, pandangan gadis beralih pada tempat itu. Mobil Porsche 356A hitam terparkir begitu saja. Baru beberapa minggu yang lalu mobil itu menjadi bagian dari rumah besar itu. Namun pria pengendaranya tak lagi membawa lajunya ke jalanan luas. Bahkan, mobil itu tak lagi mendapat perhatian pemilik rumah. Berminggu-minggu terlantar. Sang gadis menatapnya dengan pandangan kosong. Masih jelas di benaknya, kala ayahanda keluar dari dalam mobil, menyambut dirinya sembari mengumbar senyum hangat menentramkan hati. Gadis yang masih cilik bergaun renda pendek nan indah, berlari-lari kecil ke dalam pelukan ayahanda tercinta. Tawa bahagia terdengar dari keduanya. Namun, kabut putih menghapus melenyapkan sosok berbahagia itu. Gadis belia kembali pada kesadarannya. Di angkatnya kedua tangan dan di tatapi nya dalam-dalam telapak tangan yang pucat itu. Masa beberapa minggu lalu mengombang-ambingkan perasaannya. Meluluh-lantakkan jiwa raga. Tak mampu menghapus, tak sanggup menyesali tangan yang kini telah ternodai. Tangan yang merenggut nyawa. Ia diam tak berdaya.

 Terdengar derap langkah dari anak tangga di lantai bawah. Sesosok pria paruh baya menghampiri sebuah pintu di antara sekian banyak pintu di koridor lantai dua. Di raihnya gagang pintu, kemudian di tariknya. Sosok punggung dengan rambut hitam panjang nan indah tergerai, yang menyambut kedatangan pria itu. Sosok itu diam tak terusik dengan kedatangan seseorang di belakangnya. Ia masih termangu di dekat jendelanya. Masih asyik terbuai di dalam ingatannya yang kemudian berlalu bak kilatan cahaya.

“Rin?”, panggil pria paruh baya itu.

Gadis itu tak menyahut, tak pula menoleh. Hati dan pikirannya masih di kuasai oleh kenangan-kenangan manis nan pahit. Di usapnya embun di kaca jendela dan di ukirnya sebuah ungkapan. Time of life. Dari ungkapan itu, ia hanya bisa berharap kecil. Bahwa semua kenangan di hari-hari itu, tak peduli meskipun itu manis maupun pahit, bahwa itu semua adalah miliknya. Bahwa itu adalah nyata, benar adanya, dan hanya miliknya seorang. Dengan pipi yang basah kedua-duanya, ia membalikkan badan, menatap pria paruh baya itu. Sorot matanya dingin. Pria itu pun membalas dengan tatapan iba. Di pandanginya sorot mata dingin itu. Bola matanya yang bening, mungil dan indah, tapi menyiratkan kepedihan mendalam. Bola mata itu tak bersalah, meski telah di kotori pemandangan penuh aniaya. Bola mata yang lelah karena rapuhnya si pemilik. Pria itu makin iba hatinya.

“Kau baik-baik saja?”, tanya pria itu dengan lembut.

Senyum sinis tersungging di bibir gadis itu. Matanya berubah angkuh, “tidak apa-apa. Ini bukan apa-apa, kau jangan salah paham,” jawab gadis itu sambil masih tetap kekeh di tempatnya berdiri. Tak sedikit pun ada hasrat ingin menghampiri pria itu.

Pria itu memilih untuk menduduki tepi ranjang milik gadis itu sambil menghela nafas panjang.

“Kalau begitu, apa yang membuatmu kepikiran? Apa yang membuatmu sampai menangis?”, tanya pria itu lagi sambil melipat tangannya di depan dadanya, “kalau aku boleh tahu.”

“Kau bukan siapa-siapa...” jawabnya ketus.

“Aku tahu,” potong pria itu.

“Bukan apa-apa...”

“Aku tahu itu,” balas pria itu lagi.

“Kau tak berhak apapun atas diriku...”

“Memangnya kenapa dengan itu?”, tanyanya.

“Apa maumu?”, gadis itu balik bertanya.

“Aku berniat baik. Aku berharap bisa berbuat yang terbaik untukmu,” jawab pria itu dengan sabar.

“Enyah kau!”

“Aku tahu itu memang salah...”

“Berhentilah menggangguku!”

“Tapi kau harus percaya bahwa itu adalah jalan terbaik bagi kita,” balas pria itu tidak mau kalah.

“Persetan denganmu!”, umpat gadis itu.

“Dengarkan aku...”

“Enyahlah brengsek!”

“Rin...”

“Kalau itu memang yang terbaik, setelah aku melakukan apa yang kau hasutkan padaku, kenapa setelah itu kau meninggalkanku?”

“Aku tak pernah...”

“Mati saja kau!”, potong gadis itu bertubi-tubi.

“Maafkan aku...”

“Kini aku melanglang-buana, terus dan terus mencari tempat persembunyian. Kali pertama ini aku berhasil kembali ke rumah ini dengan susah payah. Dan kau, seenaknya menempati tempat ini dan semua harta yang ada di sini! Di luar sana aku kedinginan, kelaparan, menanggung derita dan aib, berkomplot dengan gelandangan untuk bertahan hidup dan kau sedetikpun tak pernah mencariku! Kau pikir aku tidak kepikiran akan status buronku ini, hah?!”

Pria itu bangkit segera dari ranjang dan berjalan mendekati gadis itu.

“Menjauh kau!”, teriak gadis itu.

Langkah kaki pria itu pun terhenti. Terbentang jarak semeter dari keduanya.

“Sedetikpun aku tidak pernah tidak memikirkanmu. Kau tahu aku bukan orang yang seperti itu.”

“Diam kau!”

“Kau tahu siapa aku.”

“Aku tak mengenalmu! Sebenarnya kau ini siapa?”

“Tenangkan dirimu, Rin...”

“Kenapa aku mau saja menuruti perkataanmu itu...” gadis itu menjambak rambutnya dengan kedua tangannya hingga duduk tersungkur. Kemudian meremas kain gorden di sampingnya. Mulutnya terdengar komat-kamit frustasi. Sangat tidak karuan. Ia mendekap tubuhnya sendiri dan menenggelamkan kepalanya di antara tubuh dan pahanya yang merapat. Sayup-sayup terdengar isakan darinya. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Adalah kebebasan, keadilan dan cinta kasih yang menjadi alasan atas tindakannya. Angan-angan belaka ingin hidup bebas dengan orang terkasih. Ia kini tak lebih dari sampah masyarakat. Dan yang paling mengguncang batinnya ialah kenyataan bahwa semua itu benar-benar nyata.

Pria itu mendekati gadis itu sembari berlutut. Ia mencondongkan badannya, tangannya meraih wajah gadis itu kemudian menengadahkannya. Namun buru-buru gadis itu menepis kasar kedua tangan pria itu. Sorot matanya melukiskan kebencian yang amat sangat.

“Jangan sentuh aku!”

“Rin, kumohon...” wajah pria itu memelas.

“Keluar kau dari rumahku!”

“Apa maksud...”

“Semenjak hari itu, hidupku sebagai buron membuatku menjadikan seluruh dunia ini bagai neraka! Kau tak pernah tahu betapa terpuruknya aku, menderitanya aku! Aku mati ketakutan di luar sana dan kau tidak peduli...”

“Aku peduli padamu...”

“Keluar kau, brengsek!”

Pria itu tersenyum sabar. Ia menghela nafas sambil mengantongi tangannya pada kantong celananya. Kemudian seketika ia bangkit berdiri. Menarik paksa gadis itu ke dalam dekapannya. Erat-erat sembari mengacak-acak rambut hitam panjang nan indah itu. Gadis itu mengepalkan jemarinya, berusaha mendorong dada pria itu sekuat-kuatnya. Sia-sia. Ternyata pria itu lebih kuat dari dugaannya.

“Dengan mengusirku, kau akan sendirian.”

“Mati seorang diripun bukan masalah bagiku.”

“Aku tahu kau tidak akan seperti itu...”

“Aku tak butuh siapapun!”

“Karena kau tahu takkan ada yang bersedia menerima dirimu.”

“Hentikan!”, gadis itu berhasil mendorong pria itu, melepaskan diri dari dekapannya.

“Dan kau tahu hanya akulah satu-satunya orang yang bersedia mendampingimu.”

“Diam!”, teriak gadis itu menutupi kedua telinganya.

“Karena tak ada tempat untukmu di luar sana. Kau berpikir takkan ada tempat untuk seorang pembunuh. Makanya kau kembali kesini untuk satu-satunya orang yang bersedia menerimamu.”

Gadis itu tak terdengar sahutannya. Tak mampu membalas. Amarahnya meredam.

“Pikirkanlah dengan tenang, “ sambung pria itu.

Gadis itu masih membisu. Pandangannya di buang ke sudut ruangan. Hatinya mulai bimbang.

“Tak ada seorangpun yang berhak menentukan hal itu, termasuk kau,” gerutu gadis itu.

“Kenapa tidak?”

“Karena kau gila!”

Pria itu membalas dengan cekikikan, kemudian tawanya lepas. Tawanya terdengar menggelegar. “Apa kau telah memutuskan untuk terus seperti itu seumur hidupmu? Kita lihat saja sampai kapan kau akan bertahan. Aku yakin kau akan hancur karena hal itu. Karena itu, cobalah berpikir jernih.”

“Aku tak peduli dengan itu.”

“Kau tahu apa yang kupikirkan? Entah dalam berapa puluh tahun lagi akan ku temui gadis sebodoh kau!”

Pria itu kembali melangkah mendekati gadis itu. Di gapainya kedua belah tangan yang lemah itu dan menggenggamnya dengan kasar. Matanya menyiratkan kehausan akan gairah. Gadis itu hanya bisa menunduk. Menghindari tatapan itu. Ia tak berharap termakan oleh ajakan tatapan itu. Sembari mendorong gadis itu sampai menabrak kaca jendela ruangan yang besar dan lebar, tangannya menyibakkan rambut panjang hitam nan indah si gadis--yang menghalangi pandangannya--ke balik daun telinganya. Kemudian di dekatkannya bibirnya ke telinga gadis itu sambil membisikkan sesuatu. Sang gadis tak kuasa berontak.

“Biar kujelaskan lagi agar tembus telingamu dan tak berulang-ulang ku ucapkan. Ayahmu takkan pernah kecewa atas apa yang telah kau lakukan padanya. Kau telah melakukan satu hal terbaik untuknya. Yaitu menyadarkannya akan kekuatan cinta kita yang berada di atas segalanya. Bahkan tak sebanding dengan harta serta kekuasaannya. Cinta menundukkan segalanya. Termasuk dirimu. Aku bahagia kau melakukan itu demi aku.”

“Kau orang paling rendah yang pernah ku kenal...” geram gadis itu lewat giginya yang di rapatkan.

“Masih lebih baik daripada membunuh ayah sendiri.”

“Kau permainkan anak di bawah umur, dasar brengsek!”

“Aku sudah menawarkan banyak pilihan praktis, tapi kau tak memberiku pilihan...” tangan pria itu menjelajah ke tubuh gadis itu.

Pria itu tergeletak di lantai sesaat setelah gadis itu memeluk pria itu. Si gadis berdiri bersandar pada jendela ruangan. Di seberang dunia luar, tangisan langit belum mereda. Ia memejamkan pandangan sekitar. Nafasnya terdengar tak beraturan. Bola matanya mengitari ke setiap sudut ruangan untuk terakhir kalinya. Mengingat-ingat setiap detilnya. Sebelum melepaskan sarung tangan transparan, ia berkemas dan bergegas melarikan Porsche 356A hitam. Si pria tertinggal seorang diri. Merah mulai membanjiri lantai ruangan itu sekaligus untuk kedua kalinya menodai tangan gadis itu. Punggung si pria meninggalkan ukiran lubang berbentuk hati oleh sebilah pisau dapur tertancap di tengahnya.

“Aku mencintaimu...”

Sang gadis tersenyum sinis kemudian tertawa puas terbahak-bahak sambil mengemudi.

Selesai

In The Hospital

Adi kaget ketika membuka matanya. 
Di dapatinya tubuh yang terbaring lemah tak berdaya. 
Sayup-sayup bunyi tetes impus yang tertangkap oleh telinganya. 
Samar-samar di perhatikannya langit-langit. 
Suasana gelap. 
Namun cahaya rembulan yang menembus jendela dan ventilasi mampu menerangi ruangan yang gelap gulita.
Ia membuang pandangannya ke kiri dan di dapatinya sesosok laki-laki yang tampak familiar duduk di sampingnya. 
Kepalanya menunduk, matanya terpejam dengan kedua tangan yang di lipat di depan dadanya.
Adi menyipitkan mata untuk memastikan kebenaran akan sosok itu. 
Kemudian, bola matanya mengitari ke setiap sudut ruangan. 
Tempat yang berbeda dengan kamarnya. 
Hatinya mulai penuh tanda tanya. 
Ia memutuskan untuk bangkit, namun rasa nyeri di kepalanya memperingatinya untuk kembali berbaring. 
Ia meringis sambil memegangi kepalanya dan tersentak lebih kaget lagi saat merasakan kain kasa di balut dengan rapi di kepalanya. 
Kekagetannya di tambah lagi dengan tali impus menempati pergelangan tangan kirinya. 
Ia mencoba mengingat-ingat. 
Apa yang sebelumnya telah terjadi padanya dan apa yang membawanya ke tempat itu. 
Namun, belum sempat melakukannya, sosok laki-laki di sampingnya tersadar dari mimpinya.

“Sudah siuman, Di?”, tanya laki-laki itu sambil menguap.

“Angga, kaukah itu?”, Adi balik bertanya dengan suaranya yang terdengar parau.

Angga menghembuskan nafas panjang, kemudian menarik ulur tangannya jauh ke atas untuk melakukan peregangan setelah hampir dua jam tidur sambil duduk. Ia kembali menguap.

“Kenapa kau dan aku bisa ada di sini?”, tanya Adi lagi.

Angga membalas pertanyaan Adi dengan tersenyum, “seharusnya itu pertanyaan milikku.”

Adi mengerutkan keningnya.

“Aku tidak tahu tentang itu,” Angga menanggapi sorot mata Adi yang menyiratkan tanda tanya, “begitu ada panggilan masuk ke kantorku, aku bergegas kemari.”

“Apa terjadi sesuatu padaku?”

“Itu yang ingin kutanyakan padamu,” sergah Angga.

Adi makin kebingungan di buatnya, “mm...bagaimana dengan pekerjaanmu? Kau meninggalkannya begitu saja?”, tanya Adi mengalihkan.

Angga mengernyitkan dahi sembari bergumam, “ng...bagaimana ya...? Menurutmu bagaimana?”

“Bagaimana apanya? Bukankah kau bilang pekerjaanmu lebih penting? Dan kau telah membuang waktumu hanya untuk mengawasiku seperti ini? Apa aku salah?”, jawab Adi dengan semrautan.

Angga bisu sesaat. Ia menatapi laki-laki yang sedang terbaring lemah di hadapannya dalam-dalam. 
Ia dapat merasakan kesepian mendalam yang terpancar darinya. Ia pun kembali tersenyum.

“Tidak,” balas Angga dengan lembut, “kau memang tidak sepenuhnya salah, tapi satu hal yang ku ingin kau tahu...”

Keduanya saling beradu pandang.

“Apa?”, tanya Adi.

“...pekerjaanku tak lebih penting daripada dirimu. Kau percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya,” sambung Angga.

Adi tak merespon, ia diam seribu bahasa.

“Aku tidak tahu yang menyebabkan kau seperti ini sekarang adalah kesalahanku atau hal lainnya...” lanjut Angga sambil kembali melipat tangannya di depan dada, “...kecemasanku ini nyaris membuatku mati gila. Aku sebenarnya hanyalah seseorang yang pengecut. Sesumbar ingin melindungi kau dan Nena, tapi pada akhirnya aku tidak bisa apa-apa terhadap Nena. Kali inipun sejujurnya aku ketakutan. Takut kehilangan. Setelah Nena, sempat terlintas di benakku, bagaimana jika seandainya kau di renggut dari sisiku...”

Adi masih tak memberi tanggapan. 
Matanya memandang lurus ke depan.
Pandangannya menerawang ke tembok putih ruangan. 
Ia tak menoleh ke Angga. 
Namun yang bersangkutan malah sebaliknya.

Angga tersenyum pahit, “aku hanya ingin bilang bahwa aku peduli padamu, dan aku ingin...”

“Minta maaf,” potong Adi, “maafkan aku, Ngga. Seharusnya ucapan itu milikku.”

Angga tercengang mendengar penuturan Adi barusan. Namun ia membalasnya dengan tersenyum lembut untuk ke sekian kalinya.

“Ya, kau ini boleh juga,” katanya.

“Akhir-akhir ini aku terus kepikiran Nena. Ia tak kadang hadir dalam mimpi, tapi kadang bayangnya samar-samar di alam sadarku. Mungkin kedengarannya memang tidak logis.”

“Hm...” Angga menggumam sambil mengangguk-angguk kecil.

Alis Adi berkerut. Ia tak menangkap maksud dari bunyi ‘hm’ itu, “ada yang salah?”, tanyanya.

Kali ini Angga malah menggeleng-gelengkan kepalanya, “tidak, kurasa itu tidak aneh.”

“Delapan tahun telah berlalu lamanya, tapi sampai kini bayang-bayangnya pun masih terasa dekat, malah semakin dekat. Kadang aku merasa ia akan muncul entah dari mana, mengagetkanku, kemudian tertawa penuh kepuasan...”

Angga tersenyum mendengar cerita Adi.

“Maaf, ceritanya jadi tidak enak begini, soalnya Nena itu meninggalkan kesan yang kuat sekali padaku.”

“Tidak apa-apa,” balas Angga, “kurasa memang benar bahwa cerita mengenai Nena tidak akan pernah ada habisnya.”

“Itu kan menurutmu.”

“Tidak, tidak, kurasa hal yang sama pun juga ada padamu.”

“Hah?”

“Hoh!”, balas Angga cekikikan.

“Kau pikir itu lucu?”, sewot Adi.

Adi kembali menunduk, sementara Angga masih cekikikan. 
Matanya tertuju pada dunia luar di balik jendela ruangan. 
Bola matanya menangkap sesosok bayangan yang membawa lentera, lewat dalam sekejab mata dan itu sekaligus membuat matanya terbelalak. 
Cahaya itu begitu indah, bahkan menandingi keindahan cahaya rembulan di ufuk barat.
Namun hanya terlihat sekilas. 
Terasa singkat. Mulut Adi tak melontarkan apa-apa untuk mengungkapkannya. 
Hatinya di liputi suka cita.

“Jam berapa sekarang?”, tanya Adi mengalihkan.

“Dini hari,” jawab Angga yang telah reda dari cekikikannya, “tepatnya jam dua. Memang ada apa dengan itu?”

“Ada apa dengan diriku?”

“Hah? Kenapa kau tanya aku? Aku bilang pertanyaan itu milikku.”

Adi kembali diam tak membalas. Dahinya berkerut. 
Tidak tahu apa ada yang salah dengan penglihatannya.
Yang pasti, pemandangan yang sekelebat barusan begitu hangat menentramkan hati. 
Adi meyakinkan bahwa dirinya masih dalam keadaan tersadar. 
Segenap ia memejamkan mata. 
Mulutnya mendesah perlahan. Ia mencoba menggali ingatannya beberapa jam yang lalu.
Masih terlintas, saat itu ia melaju kencang bak kilatan cahaya bersama Tiger nya di jalanan luas.
Ia hendak berpulang.
Melewati tempat asing yang tak pernah di singgahinya. 
Gelap gulita. 
Hanya sorotan cahaya Tiger yang menerangi jalan. 
Dan raungan Tiger yang memecahkan kesunyian malam. 
Mata Adi memejam keras, berusaha berpikir keras. 
Apa yang hendak di carinya. 
Apa yang terjadi setelah itu. Entah mungkin di ujung jalan sana tampak setitik pelita yang sama seperti yang ia lihat beberapa detik yang lalu. 
Semakin mendekati. 
Sesosok bayangan bergaun indah dengan kerudung yang menutupi rambut pendeknya.
Wajahnya tertunduk berhiaskan poni yang tertata rapi.
Kedua tangannya lah yang menggenggam lentera.
Ialah sumber pelita itu. 
Semakin dekat arahnya semakin menyadarkan Adi dari keterpanaannya. 
Matanya membelalak.
Ia terlambat dengan remnya. 
Setelah itu ia tidak ingat apa-apa.
Hanya saat ia terbangun di sebuah ruangan dengan impus di samping ranjangnya, dan Angga yang telah berjaga untuknya. 
Mata Adi membuka perlahan.

“Hei, kali ini ada apa?”, tanya Angga, yang ternyata sejak tadi diam memperhatikan Adi yang sedang berada dalam lautan pikirannya tadi.

“Entahlah,” jawab Adi pusing.

“Apa itu jawabannya? Aku tak tahu apa-apa saja yang menimpamu seperti ini hanya karena kau enggan menjelaskannya padaku. Apa itu jawaban atas kecemasanku?”

Tangan lemah Adi memegangi kepalanya, “maaf, pikiranku agak kacau.”

“Aku sangat khawatir!”, Angga menegaskan.

“Aku tahu,” balas Adi.

“Andai ada yang bisa kulakukan untukmu...”

“Kau sudah banyak melakukan hal yang berarti untukku. Justru aku yang tidak bisa tidak terus-terusan menyusahkanmu...” potong Adi.

“...”

“...seperti sekarang. Terima kasih,” sambung Adi.

Angga tersenyum ringkih, “mungkin karena aku berbeda dengan Nena.”

“Tidak,” sanggah Adi, “apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”

Angga menggigit bibir, “yah, aku tak tahu apa yang membuatku berpikir demikian. Mungkin sama seperti yang kau rasakan. Nena begitu penting bagiku. Keberadaannya sangat berarti...”

Adi diam memperhatikan orang di sampingnya.

“...ia seseorang yang lembut, tidak seperti aku. Karenanya cintamu padanya begitu besar ketimbang aku,” sambung Angga.

Adi membuka mulut, “kau salah, Ngga.”

“...karena aku sering meninggalkanmu...”

“Itu tidak benar,” sanggah Adi lagi.

“Aku tidak lebih dari seorang ayah yang payah...”

“Bukan seperti itu!”, Adi setengah berteriak.

Kali ini Angga yang tak bersuara. Tubuhnya condong ke depan dengan kepala tertunduk. 
Kedua tangannya saling bergenggaman. Namun kemudian mengangkat kembali kepalanya.

“Percayalah,” kata Adi, “aku hanya ingin memutuskan untuk berhenti menyusahkanmu. Bukan berarti aku membanding-bandingkan mana yang lebih baik antara kau dan Nena. Dan bukan pula berarti bahwa aku tidak menyayangimu.”

Angga diam tercengang mendengar penuturan Adi tersebut.

“Kau mengatakannya dengan tegas.”

“Ada yang salah lagi?”, tanya Adi.

Angga tersenyum lembut, “tidak, aku senang mendengarnya, itu saja,” jawabnya sumringah.

“Kapan aku boleh meninggalkan tempat ini?”, Adi mengalihkan pembicaraan, “bagaimana dengan sekolahku?”

“Kau tak perlu cemaskan hal itu, yang penting beristirahatlah dulu dengan tenang. Yang justru kucemaskan adalah kepalamu.”

“Kenapa dengan kepalaku?”, tanya Adi.

“Katanya terbentur. Aku takut ada apa-apanya lagi.”

Adi tersenyum, “benarkah? Aku yakin aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

“Buktinya yang kau lihat sekarang.”

Angga mengangguk-angguk kecil, “baiklah, aku tinggal dulu,” tubuh Angga bangkit dari tempat duduknya dan kemudian berbalik.

“Kau akan meninggalkanku?”, sergah Adi cepat.

Langkah Angga terhenti. Ia memutar kepalanya, “apa itu kalimat tanya, anak manja?”

Adi terdiam dengan pipi memerah. Ia menarik selimutnya sampai ke dagunya. 
Tubuhnya berbalik membelakangi Angga. 
Sedangkan yang bersangkutan hanya senyam-senyum menyaksikan tingkah Adi.

“Anggap saja kau salah dengar...”

“Baik,” jawab Angga, “kau tidur saja.”

“Mm...” Adi mengiyakan sesaat sebelum Angga, sosoknya menghilang ke balik pintu ruangan.
Suasana kembali senyap. 

Mata Adi memejam perlahan.
Dalam gelap ruangan, bulir-bulir keringat mengalir tetes demi tetes membasahi tubuh Adi.
Matanya memejam kuat. 
Tubuh dan hatinya gelisah. 
Dalam alam setengah sadarnya, ia menyaksikan suatu pemandangan yang samar-samar. 
Yang ia lihat dalam pikirannya ialah sebuah mobil dalam keadaan terbalik. 
Nyala api terlihat dari tangki mobil yang hanya tinggal kepingan-kepingan. 
Adi sedikit berkerut alisnya dalam keadaan terpejam. 
Ia tercengang ketika menyadari bahwa ia mengenali mobil itu. 
Dari balik jendela mobil, samar-samar Adi melihat seseorang yang kepalanya penuh darah. 
Tiba-tiba ledakan dahsyat terjadi.
Adi tersentak kaget. 
Matanya terbuka dengan cepat dan bangkit segera dari pembaringannya.
Nafasnya tersengal-sengal. 
Tubuhnya basah oleh keringat.
Dari ujung matanya, mengalir tetes demi tetes air.

“Angga...” isaknya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Ia turun dari tempat pembaringannya sambil menarik lepas dengan paksa tali impus dari pergelangan tangan kirinya dan berlari keluar.

Ia berlarian di koridor yang remang-remang di sinari cahaya lampu kuning di sekitarnya. 
Tiada yang berjaga malam itu. Dalam derap larinya yang lunglai, pipi Adi basah.

“Jangan tinggalkan aku, Ngga...”

Adi merasa tubuhnya semakin berat. 
Kedua kakinya lemah, tak dapat menopang tubuhnya. 
Belum lagi rasa nyeri luar biasa di kepalanya. 
Keadaan itu memaksa tubuhnya jatuh tergeletak di lantai. 
Suara isakannya tak terdengar lagi. 
Matanya berubah pandangan kosong. 
Agak lima menit ia dalam keadaan seperti itu.

Tiba-tiba ia merasakan kehangatan di dalam hatinya. 
Dadanya terasa lapang. 
Di ujung persimpangan koridor, matanya menangkap sosok bergaun indah dengan kerudung yang menutupi rambutnya yang pendek.
Wajah tertunduknya tampak pucat. 
Masih menggenggam lentera pada tangannya. 
Senyum dingin terpancar darinya. 
Dalam keadaan setengah sadar, Adi bangkit perlahan. 
Tubuhnya tak berasa berat lagi. Kakinya melangkah mengikuti setitik pelita itu. 
Menyusuri sepanjang koridor. 
Pandangannya menerawang jauh mengikuti punggung sosok berkerudung itu. Mereka terus begitu hingga ke lantai teratas.

Sampai pada akhirnya di pintu di paling ujung koridor Adi berdiri. 
Di raihnya gagang pintu kemudian di tariknya.
Ruangan itu kosong. 
Tiada perabot macam-macam di dalamnya. 
Hanya terpaan angin dini hari dari jendela yang lebar yang terbuka lebar-lebar, yang menyambut Adi. Gordennya melambai-lambai di terpa angin dini hari itu.
Di seberang jendela sana, sosok itu berdiri menghadap Adi. 
 Kedua tangannya terulur ke depan seolah-olah mengajak Adi datang ke dalam pelukannya. Sosok itu tersenyum hangat ketika ia mengangkat wajahnya.

“Adi...Adi...” panggilnya dengan suara agak menggema, “kemarilah sayangku, aku telah mengajak ayahmu, kali ini kita bertiga akan bahagia, bersama selamanya...”

Pandangan mata Adi kosong. Bibirnya bergetar hanya untuk membuka mulut, “Nena...”

Adi terus melangkahkan kaki ke depan. 
Ia melangkahi jendela dan tubuhnya tergeletak tak sadarkan diri jauh di bawah sana setelahnya. Matanya membuka tak berkedip-kedip lagi. 
Darah mulai merembes dari belakang kepalanya. 

Hembusan angin bertiup-tiup menyuarakan kepergiannya.

Selesai

my lovely brother

Co cuit........!!

Idih,,







Lost Eve

Raungan Megapro terdengar menggebu-gebu dari suatu sudut jalanan kota. Terdengar pula kikisan pasangan rodanya yang melesat kilat di atas aspal. Langit sore itu merah jingga. Perlahan matahari turun dari peraduan. Gagak-gagak hitam berkoak-koakan. Ada yang terbang, ada pula yang bertengger pada untaian kabel-kabel tiang listrik. Adakala Megapro melintas, gagak-gagak terbang berhamburan. Sang gadis pengemudi tak pandang sekitar. Rambut coklatnya yang panjang berkibar-kibar di terpa angin senja. Dari balik pelindung kepalanya, ia mendongak ke arah barat. Matahari di antara langit senja. Cahayanya yang makin redup memantul ke bola matanya yang bening. Semakin gelap, hatinya bertambah kesal. Tak tahu arah, tak punya tujuan. Tak akan ada yang menggubrisnya, takkan ada yang peduli meski pekik menggema. Begitu ingat rumah, hatinya semakin benci. Tatkala rumah bukanlah seperti rumah baginya.
“Aku tidak tahu bagaimana kau membesarkan anak pembawa sial itu!”
Suara menggelegar bak petir itulah yang selalu menyambut kepulangan gadis berambut coklat itu. Kata-kata kasar di umbar serta dengan teriakan menyalak. Adu mulut suami istri itu terus berlangsung setiap hari nyaris tanpa absen.
“Hentikan bicaramu yang seperti semua salahku! Kau tak tahu bagaimana susahnya aku mengurus anak bebal itu!”, perempuan yang tampak masih muda raut wajahnya membalas dengan teriakan yang tak kalah hebohnya.
Gadis itu mengatur nafasnya. Meninggalkan bayangan memanjang dari Megapro nya akibat cahaya matahari yang kian meredup dan membawa diri ke depan pintu utama. Dari balik pintu itu masih jelas terdengar mooh, cercaan dan teriakan yang menghujam kelima inderanya. Namun ia memutuskan untuk meraih gagang pintu.
PLAK!
“Kau tahu sekarang jam berapa? Sekolah mana yang pulangnya sesore ini!”, pria paruh baya itu bersuara menyalak setelah mendaratkan kelima jemarinya di wajah gadis itu dengan telak. Mukanya tampak garang. Urat di kerongkongannya timbul menegang.
“Lihat anak ini! Lihat tingkah lakunya! Begini caramu mengurusnya?”, pria itu kembali menyembur perempuan muda itu, “Lihat wajahnya babak belur! Pasti habis berkelahi lagi!”
Perempuan muda itu menatapi putrinya dari atas sampai ke bawah. Wajahnya yang penuh balutan plester dan kain kasa terhalangi oleh rambut coklatnya yang panjang. Tidak tahu dan tidak peduli bagaimana ekspresi gadis itu. Perempuan muda itu melihat putrinya yang hanya diam. Matanya melukiskan kebencian.
“Kenapa Rin? Kenapa kau menyusahkan kami terus-menerus seperti ini?”
Tinju gadis itu melayang menghentakkan pintu di belakangnya. Kepalanya mendongak ke arah dua orang di hadapannya serta merta menatap mereka dengan pandangan kematian. Kedua orang itu tersentak kaget. Gadis itu menggeram dan tinjunya bergetar hebat. Usahanya untuk menahan luapan amarah kandas sudah. Pergulatan batinnya telah sirna. Kebencian lah yang memenangkan segalanya. Perasaan dan ikatan yang telah mati di antara gadis itu dan kedua orang yang seharusnya orang tua baginya, membawanya pada kehancuran pribadi. Begitu kebencian mengombang-ambing, menggelapkan rasa, hanya amuk meredam segala.
“Kau dan juga kau! Benar-benar cerewet! Memangnya siapa suruh punya anak sial seperti ini! Memangnya siapa yang minta di lahirkan!”
Pria paruh baya itu mukanya merah padam. Begitu pula dengan matanya. Darahnya semakin mendidih setelah mendengar umpatan gadis itu.
“Keluar kau dari sini! Kau bukan anggota keluarga ini lagi!”, pekiknya.
“Tanpa kau suruh pun, aku akan pergi dari rumah ini!”
Jeritan gadis itu diakhiri dengan hempasan pintu yang begitu nyaring. Dengan segera tancap gas bak taufan bersama Megapro nya. Kembali mengelilingi jalanan kota yang kini di remangi lampu-lampu kuning sepanjang jalan raya. Langit membiru gelap dan semakin lama semakin kelam. Tak satu pun kerlipan bintang menghiasi bentangan atap bumi. Purnama pun hanya bersembunyi di balik gumpalan awan pekat yang menghalangi sinarnya. Kebimbangan yang memenuhi rongga dada. Tanpa tahu apakah ada persimpangan yang sedia menerimanya. Gadis itu terus melaju tanpa henti. Angin menyambut keras, langit bergemuruh, dan akhirnya menangis. Raungan Megapro tak terdengar lagi. Suaranya hilang di depan wartel. Dengan kondisi basah kuyup, gadis itu memencet tombol dan berbicara dengan seseorang di seberang telepon sana. Agak kiranya sepuluh menit, sesosok pemuda berkacamata menghampiri gadis itu sembari menyerahkan payung di tangan kirinya. Setelah itu mereka beranjak menuju sebuah cafe di seberang wartel. Di sana, pemuda itu menyerahkan handuk dan pakaian baru kepada gadis itu. Setelah berganti di toilet, pemuda itu memesan sebuah kopi susu hangat kepada pramusaji. Ia duduk berhadapan dengan gadis itu.
“Kabur lagi?”, tanya pemuda itu.
Gadis itu hanya membisu. Matanya memandang kopi susu hangat di dekapan tangannya dengan tatapan kosong. Di atas permukaan minuman itu, tergambar lah raut wajahnya yang bermakna sendu.
“Rin?”, panggilnya.
“Aku...”, gadis itu membuka mulut perlahan, “kenapa hanya aku yang tidak merasakan ketenangan, kenapa aku...”, suaranya makin terdengar sayup-sayup di antara berisiknya gemericik air di balik jendela cafe.
Pemuda itu hanya tersenyum. “Hari ini lagi-lagi hukuman panggil orang tua karena berkelahi? Orang tua mu berseteru lagi? Di kejar-kejar polisi karena melanggar peraturan lagi?”
“Ya, lagi,” jawab gadis itu , “semuanya lagi, lagi dan lagi... dan terus menerus seperti itu. Baik rumah, sekolah maupun jalanan tak ada bedanya. Sama-sama penjara. Penjara yang senantiasa membelengguku. Dimana lagi tempat yang menyambutku dengan kebebasan sejati. Aku... aku benar-benar tidak tenang.”
Pemuda itu diam mendengarkan luapan kejenuhan gadis itu. Pandangan matanya pun melukiskan kejenuhan yang sama. Suatu ide terlintas di benaknya dan itu menyebabkan ia tersenyum ringkih. Di gapainya kedua belah telapak tangan yang dingin itu. Seketika matanya berubah pandangan sejuk. Gadis itu sempat tertegun. Raut wajahnya tak lagi memancarkan kesenduan. Pemuda itu segenap berdiri dan menyelipkan tubuh di sofa di sebelah gadis itu. Kemudian menariknya dalam rangkulannya. Membenamkan wajah gadis itu di atas dadanya yang bidang. Mengelus rambut panjangnya yang basah. Sesaat keduanya tak lagi merasakan dinginnya udara di luar sana. Gadis itu turut saja. Tak menghiraukan pandangan-pandangan sinis yang terlayang pada keduanya. Gadis yang mendamba kehangatan, sesaat tak lagi merasa sepi. Ia tak ingin waktu yang sesaat itu hanya sekali waktu itu saja. Tak mau kehangatan itu pergi begitu saja.
“Pak guru,” panggilnya.
“Kalau sedih, kesal, kenapa tidak menangis saja? Keputusanmu untuk melampiaskannya kepada dunia bukanlah sesuatu yang dapat pembenaran begitu saja. Aku bukannya mau menyalahkanmu. Tapi di atas segalanya, itu bukan atas kehendakmu. Karena sejatinya perasaan manusia itu rumit. Sulit menerka apakah seseorang itu berniat baik atau malah sebaliknya. Karena itu aku tidak habis pikir kenapa kau melampiaskan semuanya dengan mengamuk tidak karuan. Apakah kau tidak sampai terpikir apa yang kau dapatkan setelah itu. Kepuasan macam apa lagi yang akan kau raih dari semua itu?”
Tak ada bunyi yang di sampaikan gadis itu. Ia meremas kemeja pemuda itu.
“Itu bukanlah hal yang sesederhana itu untuk di tangisi...”
“Aku tahu.”
“Kalau aku melakukan itu, sama saja dengan mengakui kekalahanku! Menunjukkan pada semua orang betapa lemahnya diriku! Meyakinkan pendapat semua pecundang itu bahwa alangkah rendahnya aku! Betapa hinanya aku! Betapa tidak berharganya diri ini! Aku tidak tahu kenapa aku jadi begini, kenapa aku harus jadi seperti ini? Kenapa aku begitu menolak dunia? Dan akibat dari semua itu, kenapa aku harus terpuruk sedemikian rupa? Kenapa... kenapa aku merasakan sepi? Sepi... sepi sekali...”
Tetes air bening itu jatuh satu-satu. Membasahi kemeja pemuda itu. Di luar sana langit masih menangis. Derasnya tangisan langit menyuarakan kepedihan gadis belia. Dan kini, nun jauh di suatu tempat, gadis itu terduduk seorang diri. Bersimpuh menahan sakit pada selangkangannya. Rambutnya berantakan. Dini hari itu udara terasa amat menusuk. Sepoi-sepoi angin menyapa tubuh gadis itu. Memaksanya untuk mendekapkan tubuhnya pada kedua pahanya. Kedua tangannya gemetar. Gigi-giginya menggeratak. Sehelai sutra putih, satu-satunya yang melekati tubuhnya, tak mampu menghalangi lambaian angin dingin nan menusuk. Ditatapnya hamparan luas danau yang berkilauan membiaskan cahaya purnama yang tak lagi hilang timbul dari balik gumpalan awan pekat. Pemandangan itu sungguh menyayat hati. Ia masih ingat saat-saat dimana kehangatan berada dekat dengannya beberapa jam yang lalu. Ia masih ingat kala tangan yang besar itu membelai lembut rambut coklatnya yang panjang. Dan ia masih ingat tatapan sejuk dan senyuman hangat yang menentramkan hati itu. Masih terbesit di benaknya manakala ia di naikkan ke mobil, di bawa ke sebuah rumah. Disana, di tempat yang nyaman itu, sosok itu menawarkan kebebasan, kebebasan sejati. Gadis itu menyambut dengan suka cita. Pada hamparan dunia yang begitu luas, yang begitu ramai oleh jejak-jejak langkah manusia, walaupun mungkin cuma satu, pasti ada manusia yang masih memikirkan sesamanya. Walaupun mungkin cuma satu, pasti masih ada. Dalam waktu yang hanya hitungan jam, gadis itu tak lagi merasa sepi yang menghantui sanubarinya. Dalam waktu yang sekejab itulah saat-saat terakhir ia melihat manusia. Ketika seteguk dua teguk air teh ia tenggak, secangkir teh hangat yang di sajikan oleh orang itu dengan penuh kasih sayang. Setelah itu gadis itu tidak ingat apa-apa.
Kini duduklah ia seorang diri, di atas sampan kecil, di tengah luasnya danau. Ia meringis menahan perih pada selangkangannya, kepalanya denyut-denyutan, tubuhnya menggigil. Di sana tak ia temukan siapa-siapa. Sunyi sepi. Matanya menerawang jauh ke langit. Purnama tampak sangat cantik. Ia mengangkat tangan kanannya yang di tudingkan ke arah cakrawala. Berusaha seolah-olah ingin menggapai tempat sang purnama berada. Kemudian tangisnya pecah.
“Pak guru... pak guru...”
Gadis itu membenamkan kepalanya dalam pelukan tubuh dan pahanya. Sepi luar biasa kini meluluh lantakkannya. Tubuhnya lambat laun melemas. Ia menekan kuat-kuat mulutnya. Menahan rasa mual dan denyut hebat di kepalanya yang kian menajam tubuhnya. Angin malam teramat tak bersahabat. Ingin berteriak, namun hanya sunyi menyahut. Batinnya makin tersayat-sayat.
“Ini dimana... jangan tinggalkan aku...”
Matanya mengelilingi ke sudut-sudut sampan. Tak di temukannya dayung. Hanya beberapa paku baja nan besar-besar dan sebuah palu. Tubuhnya sedikit merunduk dan tangannya berusaha menyentuh air, lalu buru-buru di tariknya. Ia menguap-nguapkan nafas ke tangannya. Kemudian di raihnya paku-paku baja dan palunya. Gebukan palu di atas paku memecahkan kesunyian dini hari. Dengan segenap tenaga yang tersisa, gadis itu melubangi setiap sudut sampan. Setelah siap, air mulai merembes ke dalam sampan. Gadis itu kembali terduduk. Air danau tak berasa dingin lagi. Senyum pahit tersungging di bibirnya. Kau yang menabur, kau yang menuai. Atas apa yang telah di perbuat, pasti akan ada kompensasinya. Pertanggung-jawaban sudah tak ada gunanya lagi. Perlahan-lahan air telah melenyapkan sampan, kemudian sampai ke dada gadis itu, lalu danau telah menelan sosoknya.
Kembali hanya bisikan angin yang terdengar sayup-sayup dan purnama yang hilang di balik awan pekat. Suasana gelap gulita tiada pelita. Gagak hitam terbang melintas. Suara koakannya terdengar ganjil. Seperti tertawa.

Selesai

Map

Link