Present

“Jo, tolong angkut kardus itu ke dalam!”

Terdengar seruan seorang wanita dari dalam vila yang meminta agar gadis cilik yang berada di dalam truk pengangkut barang, ikut serta mengangkuti kardus-kardus barang ke dalam vila. Gadis cilik yang tengah asyik terbuai dengan headphone nya tak mendengar panggilan itu.

“Buruan, Jo!”

Tak ada sahutan yang di sampaikan gadis cilik itu. Kepalanya angguk-angguk menikmati alunan irama hiphop dari headphone nya. Matanya memejam seolah menyimak dengan seksama nada-nada yang tersampaikan ke gendang telinganya. Langkah demi langkah yang kian menghampirinya pun tak tergubris olehnya. Ia masih terlena di tempat duduk di depan bak besar tempat kardus-kardus berada, namun jendela di sampingnya terbuka. Memungkinkan tangan wanita itu menggapai headphone gadis ciliknya dan menariknya dari kepala gadis cilik tersebut.

Gadis cilik itu pun membuka matanya, “hei, aku sedang asyik mendengarkan album Chris Brown yang terbaru!” serunya.

“Ya, kau sedang asyik membiarkanku bekerja sendirian,” balas wanita itu sambil membuka pintu mobil dan menurunkan gadis cilik itu dari tempat duduknya, “sekarang bantu aku atau tidak akan ada makan siang,” ancamnya.

“Ya, ya,” gerutu gadis cilik itu sambil mengikuti wanita itu naik ke dalam bak besar dan mengangkut kardus-kardus kecil yang terjangkau oleh tenaganya.

Setelah bolak-balik selama lima belas menit memindahkan kardus-kardus ke dalam vila, gadis cilik berlari menghampiri sofa empuk bermotifkan polkadot dan menghempaskan tubuh di sofa tersebut sambil mengeluarkan nafas panjang.

“Jun, aku haus!” teriak gadis cilik itu.

“Nih,” wanita itu menyerahkan botol berisi air mineral segar yang diambil dari dalam kulkas, “kau suka vila ini?”

“Vila ini bagus,” kata gadis cilik sambil menyambut botol air mineral tersebut, “berapa lama kita akan di sini?” tanyanya.

“Selama yang kau mau,” jawab wanita itu sambil menempatkan diri disamping gadis cilik, kemudian merangkulnya, “bagaimana kedengarannya, hm?”

“Kau memang yang terbaik,” kata gadis cilik itu sambil memeluk wanita disampingnya, “ini hadiah ulang tahun paling keren yang pernah ku dapatkan.”

“Nah,” ujar wanita itu sambil mengacak-acak rambut pendek gadis ciliknya dengan lembut, “kau boleh jalan-jalan keluar selagi aku menyiapkan makan siang. Biasakanlah dirimu dengan lingkungan di sini.”

“Benarkah?” tanya gadis cilik itu dengan wajah berseri-seri.

“Tapi jangan jauh-jauh,” timpal wanita itu.

“Okeh!”, jawab gadis cilik itu setengah terpekik sambil berlari keluar pintu dengan bersemangat sementara wanita itu tak kuasa menahan senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Setibanya di luar, tak jauh dari vila, gadis cilik menemukan sebuah pemandangan seorang anak laki-laki yang kira-kira sebaya dirinya, sedang terduduk seorang diri disalah satu ayunan di pekarangan rumah yang tampak tua dan tak terurus.

Gadis cilik mencoba menghampiri tempat anak laki-laki tersebut berada dalam derap langkahnya yang berlompat-lompatan kecil. Sembari matanya meneliti sosok yang tertangkap matanya tersebut. Anak itu berkenakan kemeja lengan panjang usang berwarna abu-abu dan celana jeans coklat tua. Rambutnya kusut acak-acakan , begitu pula raut wajahnya. Kulitnya putih sekali, berbeda dengan dirinya yang berkulit gelap. Pandangan mata anak itu menerawang. Pikir sigadis cilik mungkin anak itu tengah melamun.

Gadis cilik menaruh diri pada ayunan di sebelah anak itu, “hai,” sapanya sambil memandang anak laki-laki sebelahnya.

Anak itu tak menyahut.

“Kenapa kau sendirian?” tanya gadis cilik.

Kembali anak itu tak memberi jawaban.

“Apa yang kau lamunkan?” tanya gadis cilik lagi.

Kali ini anak itu hanya memutar kepalanya. Matanya yang sendu menatap gadis cilik itu.

“Kenapa kau tak bermain saja?” tanya gadis cilik tak mau menyerah.

“...tak punya teman...” jawab anak itu akhirnya dengan nada suara yang agak bergetar.

Gadis cilik tersenyum spontan, “kalau begitu, aku yang akan jadi temanmu,” gadis cilik itu memutuskan, “aku tidak keberatan.”

Anak itu memandang gadis cilik di sebelahnya dengan pandangan agak tercengang, namun ekspresinya datar.

“Namaku Jo,” gadis cilik memperkenalkan diri sambil kedua tangannya menggenggam rantai ayunan, “kau?”

Anak itu tak menjawab lagi. Sesekali matanya memandang lemah gadis cilik, kemudian mendesah namun desahannya tak terdengar oleh telinga sigadis cilik.

“Aku tinggal di sana,” gadis cilik menunjuk vila yang berada tiga meter barat daya dari tempat ayunan yang di dudukinya berada.

“Aku baru tiba di sini beberapa menit yang lalu,” sambung gadis cilik itu, “aku bersama bibiku, Jun, kalau kau mau main ke rumahku, akan kuperkenalkan dia padamu.”

“Tidak bisa,” jawab anak itu pelan.

“Hah? Apa?” tanya gadis cilik itu tidak kedengaran.

“Aku tidak bisa,” ulang anak itu tetap dengan suara pelan.

“Kenapa?” tanya gadis cilik agak kecewa, “orang tuamu yang melarangmu?”

Anak itu menggeleng pelan.

“Mm...baik,” gumam gadis cilik, “kalau begitu aku saja deh yang akan sering main ke rumahmu. Rumahmu dimana?”

Anak itu menjawab dengan menolehkan pandangannya ke belakangnya. Gadis cilik pun melakukan hal yang sama. Ayunan yang dinaikinya adalah milik rumah tua tak terurus yang ternyata temapt tinggal anak laki-laki itu.

“Berarti kita tetangga!” teriak girang gadis cilik itu, “aku akan main setiap hari kesini! Boleh kan?”

Anak itu tak menjawab untuk yang kesekian kalinya.

“Aku ingin tahu namamu,” gadis cilik mengalihkan.

Anak itu menatap gadis cilik dengan pandangan yang tampak seperti menimbang-nimbang.

“Ayolah...” pinta gadis cilik itu dengan wajah memelas, “aku harus tahu siapa nama orang yang akan menjadi temanku.”

Bibir anak itu bergetar, “Ga...lih...”

Gadis cilik tersenyum puas, “baiklah, Galih, aku harus pulang dulu,” kata gadis cilik meminta diri untuk pamit, “sekarang sudah waktunya makan siang, nanti Jun akan marah kalau aku sampai terlambat.”

Gadis cilik bangkit dari ayunannya sambil melangkah riang. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan ia membalikkan badan.

“Oh ya, hari ini hari ulang tahunku,” kata gadis cilik bersemangat, “dan vila itu adalah hadiah ulang tahun dari Jun untukku.”

Anak itu tak menanggapi apa-apa. Ia hanya menatapi gadis cilik yang tersenyum manis padanya. Bahkan pandangannya tetap tak berpaling ketika gadis cilik melangkah meninggalkannya. Pandangannya tertuju pada punggung gadis cilik yang belum jauh darinya.

Lagi-lagi gadis cilik mengerem langkahnya. Ia membalikkan badan dan di dapatinya ayunan tempat anak itu duduk kosong. Sosok itu raib. Gadis cilik mengerutkan alis. Namun ia memutuskan untuk kembali ke vilanya dengan langkah ceria.



“Tidur yang nyenyak,” wanita itu menduduki tepi ranjang milik gadis cilik nya sambil menarik selimut sampai ke leher si gadis cilik, “sekarang sudah jam dua.”

“Aku suka tempat ini,” kata gadis cilik sambil tersenyum manja.

“Bagus kalau begitu,” balas wanita itu.

“Tadi siang aku berkenalan dengan seorang anak,” cerita gadis cilik.

“Oh ya?”

“He-eh, namanya Galih, ia tinggal di sebuah rumah tua yang ada ayunan di pekarangannya, tidak jauh dari vila ini. Mungkin nanti kau bisa melihatnya dari jendela,” jelas gadis cilik bersemangat.

Wanita itu mengelus-elus kepala gadis cilik yang tergeletak dibantalnya yang empuk, “seperti apa Galih itu?” tanyanya lembut.

“Anak yang aneh!” jawab gadis cilik cepat, “ia sangat pendiam sekali!”

“Mm...” wanita itu bergumam sambil mengangguk kecil.

“Ia juga bilang bahwa ia tak punya teman, makanya aku menawarkan diri untuk menjadi temannya!” lanjut gadis cilik bercerita, masih dengan bersemangat.

“Anak baik,” kata wanita itu sambil tersenyum lembut.

“Karenanya, aku boleh kan main kesana tiap hari?” pinta gadis cilik dengan wajah memelas, “boleh kan, Jun?”

Wanita itu mengerutkan kening, melihat kesekelilingnya, menimbang-nimbang, kemudian mengangguk sambil tersenyum.

“Yes!” teriak girang gadis cilik.

“Ya, ya,” wanita itu menyudahi, “beberapa jam lagi akan terbit fajar, kau harus tidur banyak untuk pertumbuhanmu.”

“Aku selalu tumbuh,” gerutu gadis cilik.

“Tapi otakmu kurang berkembang,” balas wanita itu sambil cekikikan dan menepuk-nepuk lembut kepala gadis ciliknya.

“Enak saja!” timpal gadis cilik agak kesal.

Wanita itu hanya membalas dengan tersenyum. Kemudian tubuhnya bangkit dari dari tepi ranjang dan segenap mencondongkan tubuh kedepan untuk mengecup kening gadis ciliknya. Lalu ia berjalan menuju pintu sembari mengucapkan dua patah kata sebelum ia memencet tombol untuk mematikan lampu kamar sigadis cilik, “selamat tidur.”

“Selamat malam,” balas gadis cilik sebelum ia memejamkan mata.

Setelah menutup pintu kamar sigadis cilik, wanita itu baru akan melangkahkan kaki untuk menuruni tangga, matanya terpancing kejendela disebelahnya. Ia mendekati jendela itu untuk mencari letak pasti rumah tua berhiaskan ayunan pada pekarangannya seperti yang diceritakan oleh gadis ciliknya.

Dan alangkah tersentaknya wanita itu ketika matanya mendapati sosok anak laki-laki berayun-ayun pada salah satu ayunan dengan raut wajah datar, namun sorot matanya dingin. Wanita itu dahinya berkerut. Matanya tak berkedip dan tak bisa lepas dari pemandangan itu. Ia lebih tersentak kaget lagi ketika wajah anak laki-laki itu mendongak kearahnya. 

Merasa ketahuan memperhatikan, situasi itu memaksa wanita itu secara refleks mundur dari jendela disampingnya. Perasaannya campur aduk. Mulutnya seolah terkunci rapat sehingga tak ada yang dapat diucapkan untuk mengungkapkan atas apa yang telah disaksikannya. Yang dirasakan hanya nafas yang tersendat-sendat dan degup jantung yang begitu cepatnya. Wanita itu berusaha menenangkan dirinya sendiri. Mungkin ada yang salah dengan penglihatannya, begitu pikirnya.

Ia pun memutuskan untuk mengintip kebalik jendela lagi untuk memastikannya. Dan didapatinya ayunan kosong tiada siapa-siapa diatasnya. Wanita itu segenap menghembuskan nafas lega sembari menggeleng-gelengkan kepala. Setelahnya ia menuruni tangga dengan sosok anak laki-laki berdiri tegap dibelakangnya.



“Jun!” teriak gadis cilik dalam derap langkah kakinya menuruni tangga. Setelah ia menyelesaikan anak tangganya, ia berlari kecil kearah dapur dengan penampilan masih mengenakan piyama.

“Jun! Kau harus lihat ini!” teriak gadis cilik lebih heboh lagi.

Namun kehebohannya menyurut ketika ia tak menemukan Jun-nya didapur. Kemudian ia menghampiri memo mini yang tertempel dikulkas yang bertuliskan pesan dari wanita itu untuknya. Disana tertulis bahwa ia telah pergi kerja pagi-pagi sekali dan ia telah menyiapkan sarapan untuk gadis cilik tersebut.

Gadis cilik menghampiri meja makan dan menduduki kursinya. Ia meletakkan sebuah kotak mungil bersampulkan kertas kado yang dibawanya dari kamarnya. Benda itulah yang hendak diperlihatkannya kepada wanita itu.

Untuk memenuhi rasa penasaran luar biasanya, gadis cilik memutuskan untuk membuka kado mungil itu agar mengetahui isi didalamnya daripada harus menunggu kepulangan bibi-nya terlebih dahulu.

Gadis cilik tercengang dengan wajah berseri-seri ketika mengetahui isi dari kotak mungil itu. Seutas liontin sapphire berwarna hijau zamrud. Gadis cilik pun membuka liontin itu. Perempuan muda dan seorang pria disisi kanannya, sementara disisi kiri tampak anak laki-laki yang serupa dengan anak laki-laki yang baru menjadi temannya kemarin. Tiga orang didalam liontin itu tersenyum. Tampak bahagia sekali. Gadis cilik agak bingung. Kemudian dalam kotak mungil itu, gadis cilik menemukan yang lainnya, yakni kertas gulung kecil. Ia membuka gulungan itu dan pesan disana tertulis ucapan selamat ulang tahun yang ditulis berantakan dengan tinta merah. Gadis cilik tersenyum bahagia.



“Hei!” sapa gadis cilik dari kejauhan sambil berlompat-larian ria dengan raut wajah cerianya yang khas. 

Dilehernya tergantung benda dari kotak mungilnya yang ia tinggalkan ditempat tidurnya.

Ia menyelipkan tubuh keayunan disebelah anak laki-laki disampingnya sembari mengumbar senyum.

“Terima kasih,” ucapnya riang sambil menunjuk benda yang kini dikenakannya, “ini pasti dari kau, kan?”

Anak itu tak memberi jawaban seperti biasanya.

“Oh ya, apa ini kedua orang tuamu?” tanya gadis cilik sambil membuka liontinnya dan menunjuk foto disisi kanan liontin tersebut.

Anak itu memutar bola matanya, menoleh kearah gadis cilik sambil mengangguk pelan.

“Sebenarnya aku masih bingung,” tutur gadis cilik, “kalau ini adalah kedua orang tuamu, seharusnya liontin ini adalah benda paling berharga bagimu. Tapi kenapa kau menghadiahkannya padaku?”

Anak itu kembali menjawab dengan kebisuan.

“Kau tahu?” tanya gadis cilik sambil tersenyum malu-malu, “ini benar-benar surprise karena bayangkan, saat kau terjaga dari mimpimu, tiba-tiba ada kado mungil diatas selimutmu, dan yang paling mengejutkan adalah itu pemberian dari temanmu!” cerita gadis cilik itu dengan menggebu-gebu.

Anak itu memandangi gadis cilik disebelahnya yang tengah asyik berceloteh. Pandangan matanya lembut dan tulus.

“Ini adalah benda berharga milik temanku,” sambung gadis cilik masih bercerita dengan bersemangat, “berarti ini juga benda berharga bagiku! Aku akan menjaganya baik-baik! Aku janji!”

“Kau suka?” tanya anak itu pelan.

“Tentu saja!” jawab gadis cilik cepat sambil tersenyum.

Anak itu balas tersenyum perlahan-lahan. Senyuman tipis yang begitu rapuh, tetapi begitu tulus dan hangat. 

Gadis cilik tercengang. Hatinya diliputi suka cita saat menyaksikannya.

“Akhirnya aku melihatmu tersenyum...ini mungkin juga hadiah ulang tahun yang kedua darimu” kata gadis cilik terharu, “terima kasih.”

Anak itu menjawab dengan mengangguk sekali.

“Oh ya,” kata gadis cilik mengalihkan, “dimana kedua orang tuamu? Aku belum mendengar kau menceritakan tentang mereka.”

Anak itu menunduk sambil menggeleng-geleng pelan.

“Oh, tidak masalah kalau kau tak mau menceritakannya sekarang, mungkin lain waktu?” kata gadis cilik menanggapi maksud dari bahasa tubuh anak itu.

“Kau...benar-benar...mau jadi...temanku?” kali ini anak laki-laki itu yang mengalihkan pembicaraan dengan ucapan terpotong-potong.

“He-eh,” jawab gadis cilik sambil mengangguk semangat.

“Kau...yakin...?” tanya anak itu meyakinkan.

“Kau meragukanku?” gadis cilik balik bertanya.

Anak itu menjawab dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.



“Jodie, ada yang harus kuberitahukan padamu,” kata wanita itu saat berada dimeja makan, “ini penting.”

“Apa itu?” tanya gadis cilik sambil menyendokkan mi kemulutnya.

Wanita itu memandang gadis ciliknya dengan perasaan ragu-ragu.

“Begini,” katanya memulai, “kau yakin tentang anak laki-laki yang menjadi temanmu itu?”

“Hah?”

“Maksudku, kau yakin ia tinggal dirumah tua itu?”

“Ya,” jawab gadis cilik sambil mengunyah makanannya, “lihat, ini hadiah ulang tahun dari Galih untukku,” gadis cilik menunjuk liontin yang tergantung dilehernya.

“Boleh aku lihat?” pinta wanita itu.

Gadis cilik cuma mengangguk sambil melepaskan liontin itu dan menyerahkannya kepada wanita itu. Wanita itu membuka liontin tersebut dengan dahi mengernyit.

“Itu dia, dan orang tuanya,” jelas gadis cilik.

Wanita itu menutup liontin tersebut sambil mengembalikannya pada gadis cilik. Ia menatap gadis ciliknya dengan prihatin. Namun wanita itu memantapkan hati untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.

“Kau tahu rumah itu telah kosong sejak empat puluh tahun yang lalu?”

“Tidak,” jawab gadis cilik sambil terus menyendokkan mi-nya, “aku tidak ta...” gadis cilik tiba-tiba tidak jadi menyendokkan mie kedalam mulutnya. Matanya menyiratkan tanda tanya.

“Dan orang-orang yang ada dalam liontin itu adalah penghuni terakhir rumah itu empat puluh tahun yang lalu.”

Gadis cilik tak memberi sahutan. Ia masih memandang wanita itu tidak percaya. Hatinya terobrak-abrik, “kau bermaksud ingin bilang apa, Jun?”

“Orang tua anak yang bernama Galih itu tewas dalam sebuah kecelakaan yang direncanakan oleh orang-orang yang tidak menyukai kesuksesan ayah anak itu yang merupakan seorang diplomat. Galih, saat ia tengah ditinggalkan sendirian oleh orang tuanya dirumah itu, didatangi oleh sekelompok orang yang merupakan komplotan penjahat yang membuat seolah-olah orang tua anak itu tewas dalam kecelakaan biasa. Dirumah itu pula nyawa anak itu dihabisi.”

“Kenapa...kenapa mereka meninggalkannya sendirian?”

“1 Juli. Mereka sedang dalam perjalanan pulang untuk pencarian hadiah yang paling diinginkan oleh anak itu dihari ulang tahunnya.”

Gadis cilik menjatuhkan air mata tetes demi tetes, kemudian terdengar sedikit terisak, “kenapa...?”

“Aku juga turut prihatin, Jo, aku baru mengetahui tentang hal itu saat siang tadi aku pergi kecatatan penduduk setempat. Aku juga sempat mendatangi dan bertanya kepada pihak kepolisian dan pemilik komplek vila ini. Dan yang kudengar dari mulut mereka semua adalah hal yang sama.”

Sambil masih tersedu-sedu, gadis cilik menggeleng-gelengkan kepala, “tidak, itu bohong. Kau pasti bohong...”
“Aku juga awalnya tidak percaya akan hal ini...”

“Bohong! Jun, kau bohong padaku. Hal itu jelas tidak mungkin sebab aku begitu yakin bahwa dia ada, Galih hidup, tidak mati atau semacamnya!” rengek gadis cilik.

“Jo...”

“Kau lihat liontin ini, ini adalah bukti nyata bahwa dia ada, dia ada!” bantah gadis cilik.
“Dia memang ada sebelumnya, empat puluh tahun yang lalu...”

“Tadi siang aku masih ingat saat-saat aku berbicara dengannya dan dia pun berbicara padaku meskipun sedikit, tolong kau jangan mengada-ada seperti ini, Galih itu temanku...”

“Sayang, aku mengerti perasaanmu...”

Gadis cilik segenap berdiri seraya menghempaskan kedua tangannya diatas meja tanpa menyelesaikan makan malamnya. Kemudian berlari kekamarnya disertai dengan bantingan pintu.

Wanita itu masih kekeh dikursinya dan hanya mengeluh. Ia sempat akan membereskan piring makan gadis ciliknya yang masih penuh dengan mi setelah tanpa disadari olehnya sesuatu menyebabkan kesadarannya hilang dan tubuhnya bergerak sendiri. Dengan raut wajah tanpa ekspresi, wanita itu berjalan lurus dengan pelan mengarah pada pintu yang diseberangnya adalah beranda dilantai dua. Bibirnya tampak pucat dengan kaki yang terus melangkah.



”Jun!” gadis cilik berseru memanggil bibi-nya sambil berlari-larian menyusuri kesetiap ruangan divila.

“Jun, aku ingin minta maaf!”

Seruan gadis cilik tak mendapat sahutan. Pagi itu gadis cilik tak menemukan memo mini ditempelkan dikulkas seperti yang biasa wanita itu lakukan setiap ia sebelum pergi kerja pagi-pagi sekali. Gadis cilik yang masih mengenakan piyama duduk dikursi meja makan dengan hati yang penuh tanda tanya. Didapatinya piring mi makan malamnya semalam yang masih utuh sedia kala. Gadis cilik terus mencari, berjalan dengan langkah kakinya yang mungil.

Gadis cilik kaget ketika ia keluar rumah, sesosok orang menyambutnya diseberang halaman sembari tetap tak berpindah dari ayunannya. Gadis cilik pun melangkah menghampiri seperti biasanya. Namun tidak menduduki ayunan disebelah anak laki-laki itu.

“Apa kau sejak tadi terus disini?” tanya gadis cilik dengan raut wajah penuh kecemasan.
Anak itu mengangguk sekali.

“Mm...begini, aku kehilangan Jun. Tidak biasanya Jun pergi tanpa bilang-bilang dulu padaku, atau setidaknya meninggalkan memo dikulkas seperti yang biasa dia lakukan sebelum pergi kerja. Piring makan malam juga tidak dibereskan. Apa kau melihat ia keluar rumah?”

Anak itu menggeleng-gelengkan kepala.

“Begitu ya...” gumam gadis cilik, “kalau begitu aku harus mencarinya dimana lagi ya. Kau tahu, tadi malam kami sedikit bertengkar. Ia bicara tentang hal yang tidak-tidak. Masa’ katanya kau sudah meninggal, ada-ada saja Jun itu.”

“Kau percaya?” tanya anak itu dengan suara sayup-sayup.

“Tentu saja tidak,” jawab gadis cilik cepat.

“Mengapa?”

“Jelas saja bagiku mana mungkin kau sudah mati, dan buktinya adalah liontin ini!” gadis cilik berkata dengan tegas sambil memegang liontin yang dikenakannya.

Anak itu diam sebentar, kemudian mengarahkan pandangannya kearah vila milik gadis cilik. Gadis cilik pun melakukan hal yang sama. Dan alangkah terkejutnya ia ketika gadis cilik menatap kearah samping vila. Ia merasa kenyataan baru saja menghantam dirinya seperti ombak besar saat matanya mendapati pemandangan Jun dalam keadaan wajah mencium tanah dan tubuh yang tergulung kebelakang dengan sangat mengenaskan. 

Gadis cilik berlari dengan segera menghampirinya. Gadis cilik menangis meraung-raung memanggil nama bibi-nya. Ketika ia menyenggol, didapatinya tubuh bibi-nya telah kaku.

“Jun...ada apa ini?”

Gadis cilik beralih ketempat anak itu yang sedari tadi masih saja duduk terdiam diayunannya.

“Galih, kau tahu apa yang terjadi pada Jun?” tanyanya ditengah isakannya.

Pertanyaan gadis cilik itu dijawab dengan menghilangnya sosok anak itu dari hadapan gadis cilik begitu saja. Ekspresi gadis cilik itu hilang. Matanya melukiskan ketidak percayaan atas apa yang baru saja ia lihat. Tubuhnya pun mundur selangkah demi selangkah, tetapi malah menyebabkan ia jatuh terjerembab. Dalam keadaaan merangkak, ia tetap mundur dan terus mundur. Mulutnya seolah tak mampu bersuara untuk mengungkapkan semuanya. Ia menyeret dirinya sendiri ditanah sampai kepada mayat bibi-nya. Dan dengan tubuh yang gemetaran luar biasa, memeluk mayat bibi-nya tersebut.


Selesai

Map

Link