“Suatu ketika disebuah negeri nun jauh disana, hiduplah seorang gadis yang jelita nan baik hati disebuah rumah sederhana bersama dua kakak tiri yang selalu berlaku keras padanya, eh... maksudnya tidak keduanya, eh... atau setidaknya tidak keseluruhan seperti itu, pokoknya gadis jelita nan baik hati itu bernama Cinderella!!”
Pembukaan dari seorang narator itu disertai pula dengan sorakan riuh rendah dari penonton. Sekemuka itu, dari balik layar muncul dua orang gadis bergaun renda panjang berjalan keatas panggung. Ya, mereka itulah sikakak-kakak tiri. Salah satu dari mereka bersuara menyalak meneriakkan nama siadik tiri.
“Ella’!! Woy Ella’!!”
Sebuah lampu latar menyoroti kesuatu sudut panggung yang ternyata sejak awal sang pemeran utama telah bersiap sedia disana.
“Saya disini,” jawab Cinderella sambil meneguk secangkir teh hangat ditangannya, “lagipula nama saya Cinderella, bukan Ella’.”
“Ngapain kamu disitu santai-santai sambil minum teh segala!” kakak yang tadi kembali berteriak dengan suara menggelegar, “mana gaun yang kuminta buatkan, hah??!”
Kembali lampu latar menyoroti sebuah tempat dibelakang sang pemeran utama dan disana terpampang dua buah gaun yang belum jadi dan masih sangat berantakan.
“Mana mungkin seorang amatiran bisa dalam sekejap membuat gaun yang indah,” jawab Cinderella dengan ekspresi datar, “kalau sudah siap jadi bahan tertawaan, silahkan saja pakai gaun itu,” Cinderella menunjuk gaun yang berantakan itu.
“Jangan bercanda!! Pokoknya harus kau selesaikan sekarang juga!!” kakak tiri itu kembali berteriak.
Salah seorang dari kakak tiri yang satu lagi yang sejak tadi tak terdengar suaranya akhirnya membuka mulut. Ia menghampiri Cinderella sambil meraih kedua tangannya, “tidak apa-apa, Cinderella pasti bisa membuat gaun yang indah,” katanya menyemangati sambil tersenyum.
Cinderella balas tersenyum, “terima kasih, Kakanda, saya akan berusaha semampu saya.”
“Hoy, apa-apaan itu..” sikakak tiri yang galak menarik tangan sikakak tiri yang satu lagi dari genggaman Cinderella, kemudian merangkulnya dengan kasar, “kalau mau Kakanda tersayangmu kembali, cepat selesaikan gaun itu!!” gertaknya sambil menyeret saudara kandungnya kebalik layar.
“Kakanda.....” Cinderella menyuarakan kepergian mereka, “huh, ini semua gara-gara seorang pangeran yang entah dari mana asalnya mengadakan pesta dansa segala! Kekejaman pangeran itu tidak bisa diampuni!!” umpat Cinderella dengan suara lantang namun dengan ekspresi datar.
Cinderella terduduk kembali ditempatnya sambil kembali meneguk secangkir tehnya dengan santai, “masalah seperti ini harus ditenangkan dengan secangkir teh hangat,” ucapnya dengan pandangan menerawang.
“Cinderella kebingungan bagaimana harus menyelesaikan gaun kakak-kakak tirinya. Dalam hatinya pun ia berharap agar bisa ikut kepesta dansa tersebut. Namun sudah pasti hal itu dilarang oleh kakak-kakak tirinya. Dalam sudut ruangan dikamarnya, ia hanya bisa bersedih sambil minum teh. Yah, kira-kira seperti itu, eh... maksud saya benar seperti itu!!”
Kembali sang narator disoraki oleh penonton, diikuti oleh sebuah lampu latar keemasan nan menyilaukan menyoroti sosok pria bergaun anggun yang memegang tongkat panjang keperakan, muncul diatas pentas tepat dibelakang sang pemeran utama.
Sebagian penonton bersorak-sorai menyambut kedatangan cowok terpopuler disekolah itu yang kedapatan peran sebagai penyihir. Sesaat suasana menjadi ricuh karenanya.
“Malaikat...!! Malaikat tampan...!!” teriak salah satu kubu cewek yang ngefans dengan cowok itu.
“Anu... aku ini penyihir,” balas cowok itu kepada penonton yang histeris sambil menyipitkan matanya karena kesilauan cahaya lampu latar.
“Baik omongan maupun tindakanmu sama bodohnya,” kata Cinderella dengan kata sambutan yang singkat nan dingin dan, tentu saja dengan ekspresi datar.
“Cinderella yang baik hati,” jawab sang penyihir tidak mempedulikan ucapan Cinderella, “aku sudah mendengar keluh kesahmu, aku akan mengabulkannya, karena itu sebutkanlah permohonanmu.”
Cinderella diam memikirkan.
“Aku ingin kau membakar hanguskan istana tempat pangeran itu berada,” jawabnya dengan wajah berseri-seri.
Hampir semua penonton tersentak kaget mendengar permohonan Cinderella tersebut.
“Itu perbuatan kriminal namanya,” balas penyihir itu dengan tersenyum, “maksudku permohonan yang tulus.”
“Tulus...” Cinderella menggumam sambil kembali memikirkan, “ah, aku ingin makan kue.”
“Bukan itu maksudku!” kata penyihir dengan sabar.
Dari balik layar kembali muncul dua orang kakak tiri Cinderella, “woy Ella’, sudah belum?!!”
Pemandangan seketika berubah saat sang penyihir, sosoknya menghilang dari atas panggung berganti dengan dua buah gaun yang indah dan anggun tergeletak diatas meja.
“Tentu saja sudah,” jawab Cinderella angkuh.
“Benar kan? Cinderella pasti bisa menyelesaikan gaun yang indah, saya percaya,” kata kakak tiri yang satu lagi sambil mendekati Cinderella.
“Terima kasih Kakanda berkenan menyukai gaun buatan saya,” balas Cinderella sambil tersenyum lembut.
“Jangan sombong!” kata sikakak tiri galak sewot, “kami akan segera berangkat kepesta dansa dan kamu harus jaga rumah, mengerti?!!”
Kedua kakak tiri pun kembali lenyap dari pandangan penonton. Lampu latar keemasan nan menyilaukan kembali menyoroti sosok penyihir diatas panggung yang ternyata sejak tadi sama sekali belum berpindah dari tempatnya.
“Kerja bagus, wahai ibu peri,” kata Cinderella.
“Syukurlah kalau kamu suka,” balas sang penyihir, “aku bilang aku ini penyihir. Nah, sekarang bisa kau sebutkan permohonanmu yang lain?”
“Kue...”
“Oh! Kamu ingin sebuah gaun yang indah dan kereta kuda? Baiklah,” potong sipenyihir.
“Sementara Cinderella bersiap-siap untuk pergi keistana, diistana sendiri, sang pangeran memasang wajah masam, eh maksud saya ‘kusut’, eh bukan... tepatnya memasang wajah cemberut! Yak!” sang narator membacakan skrip dengan amburadul, kembali disusul sorakan penonton.
Lampu latar menyoroti lantai dua diatas panggung.
“Hei, kenapa kau tidak turun kesana dan mencari pasangan dansamu,” tanya sahabat pangeran yang menghampirinya.
“Berisik! Aku sama sekali tidak berminat dengan acara semacam ini! Kenapa harus mencari pasangan pada kumpulan cewek-cewek bodoh yang berobsesi besar itu? Dan kenapa pula harus pakai dansa-dansa konyol segala!” damprat sang pangeran.
Sahabat pangeran itu hanya menghela nafas, ”kalau kau terus seperti ini, bisa-bisa selamanya kau akan jadi perjaka.”
“Masa bodoh!” teriak sang pangeran , pipi dan telinganya memerah padam, “biarin!”
Sahabat pangeran menyeret dengan paksa sang pangeran kelantai satu panggung tanpa basa-basi.
“Hei! aku bilang aku gak mau turun!”
“Cerewet! Cepat cari pasangan dansamu sana!” bentaknya kepada sang pangeran sehingga sang pangeran hanya bisa menuruti dengan cemberut.
Beberapa gadis mendekati sang pangeran ketika ia turun.
“Pangeran, berdansalah dengan hamba,” kata yang seorang.
“Tidak, dengan hamba saja,” kata yang seorang lagi.
“Tidak,” jawab sang pangeran.
“Lebih baik dengan hamba,“ susul yang lain.
“Nggak mau!” jawab sang pangeran dengan kekanak-kanakan.
“Ayolah pangeran...”
“Aku bilang tidak! Cari yang lain saja sana!” bentaknya dengan kasar.
“Ah, baiklah,” sikakak tiri yang baik pun membalikkan badan meninggalkan sang pangeran.
Sang pangeran membalikkan badan ketika menyadari suara itu, “tung...”
“Semua ajakan dansa dari gadis-gadis itu tidak ada yang menarik perhatian sang pangeran dan tentu saja ditolak dengan dingin,” sang narator menegaskan, “ditolak dengan dingin!”
Sang pangeran yang mendengar hal itu membatalkan niatnya sambil menunduk kecewa. Ia berjalan lesu kearah sahabatnya sambil komat-kamit gak karuan. Padahal ia amat sangat berharap bisa berdansa dengan pacarnya, sipemeran kakak tiri yang baik itu. Karena pupus sudah harapannya, ia hanya menelan kesebalannya. Narator sialan! pekik batinnya.
“Wah, jangan langsung kecewa begitu dong,” bisik sahabat pangeran.
Tiba-tiba Cinderella muncul dengan gaun serba hitam (?) dan indah dipanggung. Penonton yang menyaksikannya terpana, atau lebih tepatnya terbengong-bengong melihat Cinderella versi gothic.
Hitam... Cinderella nya dark banget... begitu suara hati penonton.
“Wah, gadis yang sangat cantik,” teriak kakak tiri yang baik dengan bersemangat.
“Nah tuh, ada gadis cantik, ayo hampiri dan ajak dia berdansa,” kata sahabat pangeran sambil mendorong punggung sang pangeran.
Sementara si Cinderella, dengan wajah berseri-seri, menghampiri stand kue-kue yang sudah disiapkan, sang pangeran pun menghampiri Cinderella dengan terpaksa.
“Ayo! Dansa denganku!” ajaknya dengan kikuk.
Cinderella hanya merespon dengan tatapan datarnya yang khas dan hanya terucap sepatah kata, “oh...”
Pangeran membalikkan badan sambil menghela nafas lega, “ditolak tuh,” jawabnya dengan santai.
“Kok kamu malah senang, ayo sana coba lagi!” paksa sahabat pangeran.
Dengan cemberut, sang pangeran kembali menghampiri Cinderella bergaun hitam itu, “oi, hei, anu...”
“Lagi sibuk,” jawab Cinderella singkat sambil terus mencicipi kue-kue di stand yang disediakan.
“Memangnya kau datang kemari cuma untuk makan kue?”
“Apa? Kau mau apa?” tanya Cinderella datar.
“Ma... mau ngobrol gak? Ngobrol apa kek...” jawab sang pangeran dengan gagap.
“Ngobrol...” Cinderella menggumam sambil mengunyah kue, “apa kau tahu setiap bayi yang lahir pada malam jumat kliwon pasti akan mati...”
“Tolong dong cari topik pembicaraan yang lebih menyenangkan,” potong sang pangeran dengan wajah pucat pasi dan keringat dingin yang mengalir dari ubun-ubunnya, “lagipula cerita konyol macam apa itu.”
“Ternyata! Waktu sudah menunjukkan tengah malam! Dengan berat hati, Cinderella terpaksa berpisah dengan sang pangeran. Yeah! Akhirnya aku bisa membacakan dengan lancar! Ups, maaf para penonton, saya kelepasan!!” teriak girang sang narator, namun kali ini tak ada respon atau sorakan dari penonton melainkan tatapan bosan menyaksikan sang narator cengengesan gak karuan.
“Yes!” seru sang pangeran sambil melayangkan tinju keudara dengan gembira dan perasaan lega luar biasa.
Namun Cinderella menangkap tinju itu sambil meletakkan sandal slipper bercokol garpu bekas makan kue, diatas telapak tangan sang pangeran.
Seluruh penonton membelalakkan mata melihat ‘benda’ itu ditangan sang pangeran. Sang pangeran sendiri menatapi ‘benda’ itu dengan tatapan kosong, “masa’ kau datang keistana dengan sandal...”
Cinderella hanya berbalik meninggalkan sang pangeran dengan angkuhnya, “tuh, sudah kuserahkan ya.”
“Kemudian meninggalkan istana tempat sang pangeran berada dengan perasaan sedih. Ia pun berharap bisa bertemu kembali dengan pangeran itu,” kata sang narator disertai pula alunan musik yang menyayat hati.
“Ah, padahal aku ingin makan kue sedikit lagi,” kata Cinderella sambil berlari pelan meninggalkan panggung.
Sambil menatapi ‘benda’ itu dengan perasaan campur aduk, sahabat pangeran pun berjalan mendekati sang pangeran.
“Dengan ini kau bisa mencari dia. Ayo segera susul dia,” saran sahabat pangeran sambil menunjuk ‘benda’ ditangan pangeran.
“Hah? Kayaknya gak perlu deh, ngapain juga...”
Kalimat pangeran itu dipotong dengan sebuah tinju yang mendarat telak dipipi sang pangeran. Sang pangeran pun jatuh terjerembab.
“Sebenarnya kau masih ingin bertemu dengannya, kan? Iya kan?” tanya sahabat pangeran meyakinkan.
“Hoy...” geram pangeran sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri.
“Kalau memang benar begitu, ngapain kamu masih merangkak dilantai itu, hah?” sambung sahabat pangeran bertubi-tubi, “ayo, cepat temui dia!!” perintahnya dengan setengah berteriak.
“Kalau kau sebegitu ngototnya, kau saja yang yang pergi susul dia, sana!”
“Ternyata! Pangeran pun jatuh cinta kepada gadis bergaun hitam misterius itu! Dalam hatinya ia meneriakkan ‘oh, gadis yang amat jelita dan mencuri hatiku, aku ingin bertemu lagi’,”sang narator menyambung.
Kapan aku pernah ngomong begitu?!! pekik batin sipangeran dengan kesal setengah mati sambil mengepalkan tangannya, menahan kesabaran.
Adegan kemudian berpindah tempat ketempat tinggal Cinderella dan kedua kakak tirinya. Pengawal pangeran yang membawakan sandal slipper itu mencocokkan dengan kaki sikakak-kakak tiri.
“Ah, sandal ini kekecilan dikaki saya,” kata sikakak tiri baik kepada sipengawal pangeran.
“Nah, ayo kita pulang saja,” perintah sang pangeran kepada pengawalnya, “gak ada yang cocok kan?”
“Apakah tidak ada gadis lain dirumah ini?” tanya sipengawal kepada sikakak tiri yang galak sambil mengacuhkan perintah pangeran.
“Bahkan seekor tikus pun tak ada dirumah ini!” jawab kakak tiri galak menegaskan.
“Apa hubungannya dengan tikus?” tanya sipengawal.
“ Bagus, ayo cepat kembali!” sang pangeran membalikkan badan dengan terburu-buru.
“Tunggu!” panggil sikakak tiri baik, “masih ada gadis lain dirumah ini, namanya Cinde...”
“Jangan ngomong hal yang gak diminta dong!” bentak sang pangeran sambil mencubiti kedua pipi sikakak tiri baik.
“Lepaskan tangan kotormu dari wajah Kakanda,” tiba-tiba Cinderella muncul dari balik layar sambil membawa piring berisi makanan, “aku tidak akan memaafkan tindakanmu menyakiti Kakanda.”
“Eh? Aku sama sekali gak bermaksud...”
“Oh, itu sandal slipper yang kutinggalkan waktu itu. Nah, sekarang cepat kembalikan padaku!” potong Cinderella ketus dengan ekspresi datar.
Sombong benar Cinderella satu ini, mana dia keluar sambil bawa-bawa makanan yang gak jelas lagi, kata hati penonton yang tercengang.
“Mau apa kau datang kemari?” tanya Cinderella kepada sang pangeran bertubi-tubi, “apa kau datang untuk melamar Kakanda?” tanya Cinderella sambil berjalan mendekati sikakak tiri baik yang wajahnya memerah mendengar pertanyaan Cinderella tersebut. Begitupun dengan sipangeran.
“Tid...maksudmu apa sih?!” balas sang pangeran dengan pipi dan telinga yang memanas.
“Kalau begitu kau mau melamarku? Wah, itu mimpi buruk,” Cinderella mengernyitkan dahi sambil membuang muka.
“Bukan mimpi buruk lagi, neraka tahu!” balas pangeran lagi dengan suara menggelegar.
“Anu...” sikakak tiri baik kewalahan menengahi keduanya.
“Kau ini maunya apa?” tanya Cinderella lagi kepada sang pangeran dengan dinginnya.
“Kau sendiri maunya apa?” sang pangeran balik bertanya.
Kembali lampu latar keemasan nan menyilaukan menyoroti sosok penyihir dibelakang pangeran.
“Sudah kudengarkan semua permasalahan kalian,” ujar sang penyihir.
“Gyaaaaaaa˜!!!” sang pangeran berteriak kaget mendengar suara dibelakangnya yang disertai jitakan dikepala pangeran. Otomatis sang pangeran mengaduh kesakitan.
Kok rasanya sejak tadi semua berlaku gak sopan sama pangeran ya... kata hati penonton.
“Dasar gak sopan,” kata sipenyihir, “memangnya aku hantu.”
“Sakit tahu! Lagipula kau muncul tiba-tiba begitu!”
“Muncul juga kau, wahai pelayanku yang setia,” sambut Cinderella.
“Aku bukan pelayanmu!” balas sipenyihir mengacuhkan sang pangeran, “sekarang bisa sebutkan permohonan terakhirmu?”
“Hoy!” sang pangeran menggeram frustasi karena diacuhkan.
“Aku ingin membangun toko kue bersama Kakanda,” jawab Cinderella dengan wajah berseri-seri.
Sampai saat terakhir yang dipikirkannya cuma soal makanan, soal kue... suara hati penonton lagi.
Sang penyihir hanya menghela nafas, “baiklah, kalau begitu pangeran yang akan membiayai usaha itu.”
“Apa?” teriak pangeran kaget, ”jangan seenaknya memutuskan!”
“Pangeran!” bentak sipenyihir, “aku tidak akan mendengarkan permohonanmu. Permohonanmu itu harus kau usahakan dengan kekuatanmu sendiri,” sang penyihir menegaskan.
“Apa-apaan itu...”
“Demikianlah, akhirnya Cinderella menjalankan usaha toko kue bersama salah satu kakak tirinya dengan penuh kebahagiaan. Sementara sang pangeran kembali keistananya bersama pengawalnya. Nah, bagi yang ingin mendaftar untuk menjadi pasangan pangeran, silahkan hubungi saya, hahaha...”
Penutupan dari sang narator itu pun dilengkapi dengan botol-botol air mineral beterbangan kearah sang narator tersebut.
“Jadi... drama ini ceritanya tentang apa?” tanya seorang penonton yang duduk paling depan kepada teman disebelahnya.
“Yah, seperti yang tadi sudah kubilang,’Bak Seorang Cinderella’!”
Selesai
story from furuba (with changes)
by Shironeko
LEAVE A COMMENT